Kolej Perdana, menjelang pagi.
Aku terbangun dengan darah di gusi akibat bengkak dari desakan gigi baru, yang tak kunjung mereda. Kucari si ayah di kursi kerjanya. Kosong. Kulihat lampu ruang tengah dan dapur juga mati. Kulongokkan kepala ke kursi di ruang tamu. MasyaAllah, suamiku sedang tertidur di kursi. Seperti biasa, dengan buku tebal terbuka di tangan.
Kusentuh ujung kakinya.
"Yah, bangun. Ada darah lagi!" seruku sedikit panik.
Jika sakit aku memang suka parno, takut berlebihan. Dan ini menurun persis pada sulungku. Kaget, ia terburu-buru menuju kamar. Dilihatnya bantalku. Sejurus kemudian, "Mama kumur air es, ya!" ucapnya. Aku mengangguk pasrah.
Dalam hitungan detik ia sudah mondar mandir menuju lemari es sembari membawa segelas air putih. Mengecek thesis di kamar. Mengecek air putih lagi. Begitu terus. Sampai akhirnya ia datang kepadaku membawa setengah gelas air dingin. Aku berkumur. Masih berdarah. Wajahnya nampak khawatir. Kembali ia ke depan lap top, mengecek thesis.
Kulihat botol obat cina untuk sakit tenggorokan dan gusi bengkak. Aku menghampirinya.
"Yah, ini boleh dipakai, ga?" tanyaku, tak seberapa jelas karena gusi yang membengkak.
"Kalau Mama merasa pahit, dipake kumur aja, ya!" jawabnya. Aku kembali mengangguk.
Suamiku itu pun segera menyiapkan air kumur ditambah sedikit obat. Aku kembali berkumur.
"Dah, sekarang Mama tidur. Di sini aja, nanti Ayah tungguin," katanya.
"Di sini panas, Mama mau tidur di kamar depan." Sahutku sembari beranjak pergi, menuju kamar depan.
Pagi itu aku pulas, gusiku tak lagi mengeluarkan darah. Alhamdulillah.
***
Menjelang Subuh. Aku terbangun, berkumur. Kembali ada sedikit darah, jauh berkurang dari sebelumnya. Si ayah memandangku cemas.
"Masih berdarah, Ma?" tanyanya. Ia masih duduk di depan lap top, mengetik. Aku mengangguk lemah.
"Nanti kita ke dokter, ya!" lanjutnya. Lagi-lagi aku mengangguk.
Pagi itu, aku menyiapkan sekolah Thariq seadanya. Meski gusi dan gigiku tidak sakit, tapi semangatku sedang terpuruk. Malas melakukan apapun. Lima menit menuju pukul tujuh, Thariq berangkat. Mas beranjak dari kursinya, menuju dapur.
Aku duduk di dekat dapur, memperhatikan setiap gerakannya.
Tangannya cekatan menggoreng tempe, menyiapkan bumbu dan membuat sambal tempe. Kompor satunya digunakan untuk merebus air, membuat bubur.
"Mama makan bubur aja, ya. Ayah buatkan," katanya, "Mana santan, Ma?"
Kuserahkan santan dalam kotak kepadanya. Lalu ditambahkannya dua biji telor, sejumput garam dan dibiarkan bubur sejenak di atas api sementara ia makan.
Lelakiku.
Duduk di lantai, dengan cobek didepannya penuh berisi sambal tempe. Sepiring nasi di tangan kirinya. Tak lama, ia pun larut dalam suapan demi suapan. Terasa nikmat.
Ada haru menyeruak di hatiku. Kini aku tak lagi memerlukan mawar merah yang selalu kuminta tiap kali kita membahas soal romantisme. Sikapmu adalah hal termanis. Paling romantis. Melebihi sekuntum mawar atau sekotak coklat mahal!
Di tengah kepusingannya mengerjakan thesis dan tambahan tugas dari sang profesor, ia masih begitu perhatian hingga sempat membuatkanku setengah panci bubur.
Ia juga tak pernah protes terhadap apa pun yang kumasak. Seringkali jika makanan sudah habis olehku dan anak-anak, karena ia selalu terlambat pulang, tanpa banyak cakap ia menggoreng telor atau tempe sendiri.
Ia begitu mengertiku.
Maafkan aku, sayang.
Sungguh, aku beruntung menjadi istrimu. Maafkan aku yang belum bsia sempurna menjadi perempuanmu, Mas.
Tapi yakinlah, bahwa aku selalu berusaha untuk itu.
Semoga Allah mengekalkan cinta kita hingga JannahNya, aamiin...
Tuesday, June 28, 2011
Thursday, June 16, 2011
Ada Banyak Nikmat Di Sela Air Mata
Pagi yang lengang, setelah gerhana semalam. Tangan dingin si ayah lembut menyentuh kulitku. Tanpa jeda aku pun terbangun.
"Sayang, katanya ada pesanan," ujarnya, masih lengkap dengan jaket bahkan helm.
Tertatih aku bangun dari tidur, berjalan lambat menuju dapur. Pegal di punggung akibat semakin tuanya usia kehamilan membuatku tak bisa seenergik dulu lagi. Kunyalakan kompor, bersiap membuat vla. Selanjutnya bisa dibayangkan, betapa sibuknya aku pagi tadi. Memproses vla, menyeterika baju Thariq dan menghangatkan ikan patin untuk sarapan. Di sela-selanya, masih kusempatkan membuka komputer. Tulisanku untuk antologi pengusaha muda harus kelar siang ini, tekadku.
Seperti biasa, jika pagi tiba, waktu serasa ikut berlari. Kubangunkan Thariq saat jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas. Biasanya, dia bangun tepat pukul enam. Tapi karena hari ini tak berangkat ke sekolah kebangsaan seperti biasa, melainkan ke sekolah agama aku membangunkannya lebih lambat. Letak sekolah agama yang cukup dekat dari U8, tempat tinggal kami, dan jam masuk yang agak siang, yaitu pukul 07.30 adalah pertimbanganku.
Thariq bangkit, tapi tidur lagi. Kali ini pindah ke kasur atas. Hmm... kuputuskan untuk melanjutkan seterika, sementara ikan baru kumasukkan di wajan.
"Yah, tolong bangunkan Thariq!" teriakku dari ruang depan. Si ayah yang serius memperbaiki proposal project milik kawannya, bergerak menuju kamar. Sebagaimana biasa, ia membangunkan dengan 'caranya'. Tak lama, terdengar suara Zaki.
"Jangan ganggu, Yah," ucapnya manja.
Sementara Thariq tetap tak bergeming.
"Yah, tolong angkatin ikan!" seruku lagi. Si ayah menurut saja, mengangkat ikan dari penggorengan, lalu makan dengan lahapnya. Aku tersenyum.
Sambil berteriak-teriak membangunkan Thariq aku terus bergerak. Mengisi vla, menyiapkan kue, menyiapkan seragam, menyiapkan nasi lengkap dengan ikan di piring.
Singkat cerita, kami berangkat pukul tujuh kurang sekian menit. Telepon berdering, nada khusus dari kak Anny.
"Sedang di jalan, Kak," jawabku. Kami menuju Mak Jah Cafe, meletakkan kue, berlanjut ke kak Anny. Selesai tugas mengantar kue, kami mengantar Thariq ke sekolahnya. Cik Gu Rosiah mengatakan bahwa Thariq harus diantar ke KTC. Begitulah, kami pun mengantarnya. Sampai di sana, kucium anak sulungku itu dan kubisikkan untuk bersemangat. Ia mengangguk.
Kami pun pulang. Sampai di rumah, aku melanjutkan tugas menulisku.
"Yaaa... semua ikut lomba! Ayah buat proposal, mama lomba nulis dan Thariq lomba hafazan --hafalan al Qur'an, bahasa melayu--," ucap ayah dengan nada bangga.
Ah, suamiku itu, dalam diam dan cool-nya rupanya sangat membanggakan aktivitas istri dan anaknya.
Aku kembali tersenyum sembari melanjutkan mengetik. Pukul 08.10, aku mandi dan bersiap pergi.
***
Inilah pengalamanku menyetir kembali setelah sekian lama vakum. Aku ingin menyaksikan buah hatiku bertanding, sekaligus tak mau menganggu si ayah yang sibuk dengan tugas-tugasnya. Maka, dengan ijin si ayah, aku kembali di belakang kemudi.
Sesampai di parkir yang penuh, di depan KTC, aku memutar mobil dan parkir dengan sedikit kesulitan. Tiba-tiba datang telepon dari Thariq, menyampaikan bahwa lomba di sekolah agama. Kami pun cabut.
"Gimana sih si abang, ya Ma? Parkir susah-susah, mama hamil pula, eh, disuruh ke sekolah agama," gerutu Zaki. Lagi-lagi aku tersenyum.
***
Thariq dipanggil maju pada urutan ketiga. Langkahnya tegap. Tegas. Lalu duduk takzim di depan mikrofon.
Suara lantangnya mengucap ta'awudz lantas berlanjut Al Fatihah. Haru menyeruak dari hatiku. Terkenang kembali saat-saat begitu sulitnya proses kelahiran sembilan tahun lalu. Sepertinya baru kemarin kupeluk ia dalam gendonganku. Kuajak ia pergi pagi pulang sore, menemaniku ke kantor. Panas terik seringkali menyengat kulit halusnya. Tak jarang hujan lebat mengiringi langkah kami.
Kini lelaki sulungku itu duduk tenang, bersuara khas nan lantang mengalunkan hafalan surahNya. Subhannallah. Tiba-tiba rasa bangga memenuhi hati. Mahrojul huruf-hurufnya jelas dan benar. Nada bacaannya menyentuh kalbu. Seorang guru tersenyum melihatnya. Guru lain tersenyum padaku saat aku sedikit berdiri untuk mengabadikan gambarnya.
Thariq, mewarisi sifat grogiku. Dua kali ia kehabisan nafas. Pasti karena 'bergetar', istilah yang ia sebut untuk gemetar. Juga saat pertama ia salah melafal al Insyirah, satu suku kata. Lalu, "Eh!" ucapnya. Selanjutnya, ia pun lantang, tegas dan benar menghafal Al Bayyinah. Al Insyirah dilanjutnya, Al Adziyat dan terakhir al Qori'ah. Subhannallah...
Mama tak berani berharap lebih pada hasilnya, Nak.
Tapi dalam doa, mama berharap agar Allah melapangkan hatimu untuk menerima apa pun keputusan para pengadil --sebutan untuk dewan juri di malaysia--.
Dalam sholat Dhuha dan Dzuhur mama mohonkan harapan itu.
***
Si ayah masih pulas. Aku tak tega membangunkannya. Zaki yang baru ngilu giginya karena kebanyakan makan coklat juga pulas di sampingnya. Tidur beralaskan tangan si ayah, satu tangannya memegang bantal giraffe dan satu lagi memegang note jualanku yang berhias lukisannya. Kutinggalkan dua pujaan hatiku dalam lelapnya. Aku berjalan menuju parkir.
"Kita jemput Abang, ya Nak!" ucapku pada calon bayi di rahimku.
Sepanjang perjalanan ia sibuk bergerak. Pasti tak nyaman, ya Nak. Tapi Bismillah, kita akan akan melewatinya. Allah akan menjaga kita.
***
KTC
Kulihat Iq berlari menujuku. Kuputuskan untuk berhenti di pinggir jalan. Thariq datang, dengan wajah kusam. Kembali, aku tak berani berharap terlalu tinggi. Ia membuka pintu.
"Mana adik?" serunya.
"Tidur. Gimana, Bang?" tanyaku ketika ia sudah duduk di samping kemudi.
"Nih!" serunya sambil memperlihatkan sebuah piala bertuliskan JOHAN.
"Alhamdulillah, Abang menang ya? Kok bisa? Kan tadi ada yang salah," cerocosku.
"Yang itu tak dinilai, lah Ma," ujarnya serius.
Kami tak jadi pulang, melainkan berbalik ke KTC untuk mengucapkan terima kasih kepada para ustadzah pembimbingnya.
Kuparkir si putih di tempat teduh. Kami bergegas menuju aula KTC. Di pintu nampak Ustadzah Dalilah, cikgu yang selalu perhatian dengan kehamilanku. Kuraih tangannya dan kucium ta'zim. Kuucapkan terima kasih. Pun ketika jumpa dengan guru besar --kepala sekolah-- kuperkenalkan diri dan kuucapkan terima kasih. Setelah bersalaman dengan beberapa ustadzah, aku pun pamit. Di luar aula, kuminta Iq menelepon Mbahnya.
***
Ya Allah...
sungguh, di antara air mata yang menitik karena si ayah belum selesai thesisnya, ternyata ada banyak rahmah tercurah untuk kami.
Makasih atas kemudahanMu menjadikan kami juara-juara baru.
Tuntunlah kami agar senantiasa menjadi hambaMu yang bersyukur, ya Allah...
aamiiin...
"Sayang, katanya ada pesanan," ujarnya, masih lengkap dengan jaket bahkan helm.
Tertatih aku bangun dari tidur, berjalan lambat menuju dapur. Pegal di punggung akibat semakin tuanya usia kehamilan membuatku tak bisa seenergik dulu lagi. Kunyalakan kompor, bersiap membuat vla. Selanjutnya bisa dibayangkan, betapa sibuknya aku pagi tadi. Memproses vla, menyeterika baju Thariq dan menghangatkan ikan patin untuk sarapan. Di sela-selanya, masih kusempatkan membuka komputer. Tulisanku untuk antologi pengusaha muda harus kelar siang ini, tekadku.
Seperti biasa, jika pagi tiba, waktu serasa ikut berlari. Kubangunkan Thariq saat jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas. Biasanya, dia bangun tepat pukul enam. Tapi karena hari ini tak berangkat ke sekolah kebangsaan seperti biasa, melainkan ke sekolah agama aku membangunkannya lebih lambat. Letak sekolah agama yang cukup dekat dari U8, tempat tinggal kami, dan jam masuk yang agak siang, yaitu pukul 07.30 adalah pertimbanganku.
Thariq bangkit, tapi tidur lagi. Kali ini pindah ke kasur atas. Hmm... kuputuskan untuk melanjutkan seterika, sementara ikan baru kumasukkan di wajan.
"Yah, tolong bangunkan Thariq!" teriakku dari ruang depan. Si ayah yang serius memperbaiki proposal project milik kawannya, bergerak menuju kamar. Sebagaimana biasa, ia membangunkan dengan 'caranya'. Tak lama, terdengar suara Zaki.
"Jangan ganggu, Yah," ucapnya manja.
Sementara Thariq tetap tak bergeming.
"Yah, tolong angkatin ikan!" seruku lagi. Si ayah menurut saja, mengangkat ikan dari penggorengan, lalu makan dengan lahapnya. Aku tersenyum.
Sambil berteriak-teriak membangunkan Thariq aku terus bergerak. Mengisi vla, menyiapkan kue, menyiapkan seragam, menyiapkan nasi lengkap dengan ikan di piring.
Singkat cerita, kami berangkat pukul tujuh kurang sekian menit. Telepon berdering, nada khusus dari kak Anny.
"Sedang di jalan, Kak," jawabku. Kami menuju Mak Jah Cafe, meletakkan kue, berlanjut ke kak Anny. Selesai tugas mengantar kue, kami mengantar Thariq ke sekolahnya. Cik Gu Rosiah mengatakan bahwa Thariq harus diantar ke KTC. Begitulah, kami pun mengantarnya. Sampai di sana, kucium anak sulungku itu dan kubisikkan untuk bersemangat. Ia mengangguk.
Kami pun pulang. Sampai di rumah, aku melanjutkan tugas menulisku.
"Yaaa... semua ikut lomba! Ayah buat proposal, mama lomba nulis dan Thariq lomba hafazan --hafalan al Qur'an, bahasa melayu--," ucap ayah dengan nada bangga.
Ah, suamiku itu, dalam diam dan cool-nya rupanya sangat membanggakan aktivitas istri dan anaknya.
Aku kembali tersenyum sembari melanjutkan mengetik. Pukul 08.10, aku mandi dan bersiap pergi.
***
Inilah pengalamanku menyetir kembali setelah sekian lama vakum. Aku ingin menyaksikan buah hatiku bertanding, sekaligus tak mau menganggu si ayah yang sibuk dengan tugas-tugasnya. Maka, dengan ijin si ayah, aku kembali di belakang kemudi.
Sesampai di parkir yang penuh, di depan KTC, aku memutar mobil dan parkir dengan sedikit kesulitan. Tiba-tiba datang telepon dari Thariq, menyampaikan bahwa lomba di sekolah agama. Kami pun cabut.
"Gimana sih si abang, ya Ma? Parkir susah-susah, mama hamil pula, eh, disuruh ke sekolah agama," gerutu Zaki. Lagi-lagi aku tersenyum.
***
Thariq dipanggil maju pada urutan ketiga. Langkahnya tegap. Tegas. Lalu duduk takzim di depan mikrofon.
Suara lantangnya mengucap ta'awudz lantas berlanjut Al Fatihah. Haru menyeruak dari hatiku. Terkenang kembali saat-saat begitu sulitnya proses kelahiran sembilan tahun lalu. Sepertinya baru kemarin kupeluk ia dalam gendonganku. Kuajak ia pergi pagi pulang sore, menemaniku ke kantor. Panas terik seringkali menyengat kulit halusnya. Tak jarang hujan lebat mengiringi langkah kami.
Kini lelaki sulungku itu duduk tenang, bersuara khas nan lantang mengalunkan hafalan surahNya. Subhannallah. Tiba-tiba rasa bangga memenuhi hati. Mahrojul huruf-hurufnya jelas dan benar. Nada bacaannya menyentuh kalbu. Seorang guru tersenyum melihatnya. Guru lain tersenyum padaku saat aku sedikit berdiri untuk mengabadikan gambarnya.
Thariq, mewarisi sifat grogiku. Dua kali ia kehabisan nafas. Pasti karena 'bergetar', istilah yang ia sebut untuk gemetar. Juga saat pertama ia salah melafal al Insyirah, satu suku kata. Lalu, "Eh!" ucapnya. Selanjutnya, ia pun lantang, tegas dan benar menghafal Al Bayyinah. Al Insyirah dilanjutnya, Al Adziyat dan terakhir al Qori'ah. Subhannallah...
Mama tak berani berharap lebih pada hasilnya, Nak.
Tapi dalam doa, mama berharap agar Allah melapangkan hatimu untuk menerima apa pun keputusan para pengadil --sebutan untuk dewan juri di malaysia--.
Dalam sholat Dhuha dan Dzuhur mama mohonkan harapan itu.
***
Si ayah masih pulas. Aku tak tega membangunkannya. Zaki yang baru ngilu giginya karena kebanyakan makan coklat juga pulas di sampingnya. Tidur beralaskan tangan si ayah, satu tangannya memegang bantal giraffe dan satu lagi memegang note jualanku yang berhias lukisannya. Kutinggalkan dua pujaan hatiku dalam lelapnya. Aku berjalan menuju parkir.
"Kita jemput Abang, ya Nak!" ucapku pada calon bayi di rahimku.
Sepanjang perjalanan ia sibuk bergerak. Pasti tak nyaman, ya Nak. Tapi Bismillah, kita akan akan melewatinya. Allah akan menjaga kita.
***
KTC
Kulihat Iq berlari menujuku. Kuputuskan untuk berhenti di pinggir jalan. Thariq datang, dengan wajah kusam. Kembali, aku tak berani berharap terlalu tinggi. Ia membuka pintu.
"Mana adik?" serunya.
"Tidur. Gimana, Bang?" tanyaku ketika ia sudah duduk di samping kemudi.
"Nih!" serunya sambil memperlihatkan sebuah piala bertuliskan JOHAN.
"Alhamdulillah, Abang menang ya? Kok bisa? Kan tadi ada yang salah," cerocosku.
"Yang itu tak dinilai, lah Ma," ujarnya serius.
Kami tak jadi pulang, melainkan berbalik ke KTC untuk mengucapkan terima kasih kepada para ustadzah pembimbingnya.
Kuparkir si putih di tempat teduh. Kami bergegas menuju aula KTC. Di pintu nampak Ustadzah Dalilah, cikgu yang selalu perhatian dengan kehamilanku. Kuraih tangannya dan kucium ta'zim. Kuucapkan terima kasih. Pun ketika jumpa dengan guru besar --kepala sekolah-- kuperkenalkan diri dan kuucapkan terima kasih. Setelah bersalaman dengan beberapa ustadzah, aku pun pamit. Di luar aula, kuminta Iq menelepon Mbahnya.
***
Ya Allah...
sungguh, di antara air mata yang menitik karena si ayah belum selesai thesisnya, ternyata ada banyak rahmah tercurah untuk kami.
Makasih atas kemudahanMu menjadikan kami juara-juara baru.
Tuntunlah kami agar senantiasa menjadi hambaMu yang bersyukur, ya Allah...
aamiiin...
Subscribe to:
Posts (Atom)