Kolej Perdana, pagi hari
Sudah lima hari Mas pulang ke Indonesia. Dan hari-hariku pun menjadi sangat sibuk. Waktu tidur berkurang, rumah tidak bisa terhandle dengan baik seperti biasanya, dan masak? Kadang iya kadang beli.
Ternyata kehadirannya begitu berarti buatku. Meski tak selalu di sisi, tapi seperti ada semangat yang hilang hingga aku tak bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah ini seperti biasanya.
Pagi tadi.
Allah kembali mengingatkanku untuk menjaga buah hati kami lebih baik lagi.
Seorang ibu memanggilku.
Berkata dengan sedikit gugup karena rasa tak enak di hati. Aku mafhum. Pasti aku pun akan merasakannya jika hendak menuturkan sesuatu yang sulit.
Sang Ibu bercerita bahwa ada bagian mobilnya yang hilang.
Kutanya apa Thariq merusakkannya, beliau jawab, bukan.
Kutanya apakah sebelumnya sudah agak terlepas, beliau jawab, iya benar.
Lalu katanya, Thariq mengakui bahwa bagian mobil itu jatuh di sekolah agama berhari lalu.
Ibu tersebut meminta Thariq mencarinya. Sayangnya, benda tersebut tidak ditemukan.
Menurut pengakuan sang Ibu, benda tersebut tidak dijual di toko lagi. Tapi bisa dipesan. Harganya ada yang bilang RM 30, RM 80, dan juga mungkin RM 100.
Kutanya, "Lalu mau Ibu bagaimana?"
"Terserah, Mbak Ary." Jawabnya, masih dengan wajah tak nyaman.
"Baiklah, saya akan cerita ke Mas. Biar Mas yang ngobrol sama suami Ibu. Gimana?"
"Ngga usah. Saya bercerita seperti ini saja sudah lega, kok."
"Ehm, nanti saya akan tetap cerita ke Mas. Biar Mas yang ngobrol dengan suami Ibu pemecahannya bagaimana, ya."
Lalu Ibu tersebut menambahkan cerita. Bahwa anak-anakku pernah meminjam pompanya, dan tidak dikembalikan. Jadi kalau misalnya ada di rumah kami, dia minta tolong untuk dikembalikan karena ban sepedanya kempes.
Astaghfirullahal adziim...
Untuk kisah yang pertama, meski aku bingung menanggapinya, aku masih terbuka menerimanya. Jika pun harus kami ganti, kami akan menggantinya. Tapi soal yang barusan, hatiku tidak bisa menerimanya.
Kukatakan padanya bahwa di rumah kami, kejujuran dijunjung tinggi. Tak boleh berdusta. Apalagi mencuri. Jangankan pompa yang sebesar itu, mainan atau sapu tangan milik orang yang tertingal di rumah kami akan kami kembalikan. Kami memang bukan orang kaya, tapi kami tak pernah mencuri. Naudzubillah.
"Mbak harus tahu, bahwa saya mengajarkan anak-anak saya untuk jujur. Insya Allah, mereka sudah tahu itu. Dan pompa itu, benar-benar tak ada di rumah kami. Mbak harus ingat itu baik-baik!"
Nada suaraku bergetar. Tanda harga diriku diusik.
Allahu...
Jagalah keluarga kami dari sifat yang buruk.
Dari berbohong. Dari segala dosa besar.
Jauhkan kami dan anak cucu kami dan berbuat dzalim kepada orang lain. Dan lindungilah kami dari kedzaliman orang lain.
Kususuri jalan setapak menuju apartemen dengan hati masygul.
Aku akan mengadu padaMu, Tuhan...
Kuyakin, Engkau Tak Pernah Tidur mengawasi makhlukMu.
Tunjukkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
Ampunkan dosa kami, Allah...
Mampukan kami, dan angkatkan derajat kami, aamiin...
*dalam titik air mata.
Tuhan, kutahu dosaku begitu bertumpuk. maka ampunkan aku.
Semoga kesabaran ini menjadi tabungan amalku yang akan memperberat timbangan kebaikanku, aamiin...