Jika ada orang yang bertanya, apa perasaanmu untuk suamimu? Dulu, sekarang dan insyaAllah nanti? Secara spontan seorang istri pasti akan mengatakan cinta! Hmmm... betulkah? Apakah cinta yang saya rasakan dulu, sama dengan saat ini... atau bahkan nanti jika kami sudah menua? Maka saya pun perlu berpikir sejenak untuk mengurainya.
Dulu.
Selepas akad nikah. Sembilan tahun lepas. Saya sendiri seringkali bingung dengan rasa hati ini untuknya. Ia datang dengan tiba-tiba. Jumpa dalam bus antar kota antar propinsi, menuju tanah rantau, kami tak banyak berbincang. Lalu beberapa hari sesudahnya, ia mencoba menghubungi saya kembali namun tak bersambut. Saya malas menanggapinya. Dan ia pun menghilang. Hingga sepuluh bulan kemudian, ia datang menyatakan niatnya untuk memperistri saya. Tanpa pendekatan berarti, tanpa basa basi. Uhhh! Jantung saya berdegub keras mendengar pinangannya. Seminggu tak bisa lena tidur, ia sudah mendatangi rumah saya di Malang, mengutarakan niat baiknya kepada Bapak. Ketika Bapak sepakat, dua bulan kemudian keluarganya melamar saya secara resmi. Dan tiga bulan sesudahnya, kami menikah. Semua serasa serba cepat dan mendadak, di tengah kesibukan saya sebagai pelatih perkoperasian, yang hampir tiap hari bertugas ke luar kota bahkan pulau. Maka, ketika saya sudah berada di kamar pengantin bersamanya, saya pun sedikit bingung dengan semuanya. --belakangan saya ketahui ternyata si dia juga merasakan hal yang sama, hihihi--
Saat itu, yang ada dalam benak saya adalah tekad yang kuat untuk menyayangi dan menghormatinya, sebagai seorang suami yang direstui oleh orang tua saya dan tentunya dipilihkan Allah untuk saya. Meski sulit, saya terus menjadi pembelajar untuk hal yang satu ini.
Tak lama! Beberapa waktu sesudahnya, rasa sayang itu mulai menguat. Ia hadir dengan perhatian berlebih dan usaha keras yang selalu berujung pada kebahagiaan saya. Wajar, jika lantas saya pun jatuh cinta. Ahhh, indah rasanya mengenang tumbuhnya cinta di hati ini.
Sekarang.
Rasa itu makin meraja. Saya mencintainya dengan segenap jiwa saya. Saya mencintainya karena Allah Sang Maha Cinta. Bahkan kadang saya merajuk padanya, jika ia mulai nampak semakin sibuk dengan aktivitasnya sebagai pelajar. Saya bilang, cinta saya bertepuk sebelah tangan! Ihhh, kok jadi terbalik? He he he... --biasalah, perempuan memang suka melebih-lebihkan... senang bermain dalam tataran perasaan!--
Sekarang, saya ingin selalu berada di sampingnya, meski ini tak mungkin lagi. Kesibukan sedang rajin-rajinnya mendatangi kami. Mengisi hampir penuh waktu kami, hingga berbincang menjadi aktivitas yang harus diusahakan. Bersyukur, ia memahami keinginan saya. Setiap hari, ia sisihkan waktunya buat saya berceloteh. Mengisahkan kejadian lucu yang terjadi di rumah tinggal kami, mencurahkan isi hati yang sedang galau, atau sekedar mengulang memori indah cerita kami. Wah, saya baru sadar! Ternyata, saya amat jarang menanyakan kabarnya, tentang kesehatannya, kemajuan studinya... Duh, Sayang... maafkan ary ya.
Nanti.
InsyaAllah Ya Tuhanku...
Hamba ingin selalu Engkau jaga rasa cinta dan kasih sayang ini di hati hambaMu yang dhoif ini, juga di sanubarinya. Ijinkanlah agar ia senantiasa tumbuh bermekaran dalam jiwa kami. Jadikan rasa ini sebagai sarana untuk semakin mencintaiMu duh Gustiku...
Kami ingin menua bersama. Menjaga buah cinta amanahMu... Mendidik mereka bersama, hingga menjadi pembela dienMu yang tangguh. Hingga mereka menjadi khalifah agung nan adil di muka bumiMu ini Rabb... Hamba ingin, rasa itu tak akan pernah pudar, meski wajah muda kami kian memudar dimakan waktu. Meski uban tumbuh dan makin memenuhi kepala kami. Jadikanlah tangan kami terus saling menggenggam, meski kekuatan kami kian berkurang...
Dan kumpulkanlah kami semua dalam syurgamu nan abadi, aamiiin...
Yups! Itulah yang bisa saya katakan tentang rasa hati ini untuk suami saya terkasih. Bagaimana dengan Anda, para sahabat? Para istri shalihah? Yuk! Mengurai rasa kita untuk lelaki yang lebih dari separuh waktunya mereka gunakan untuk memikirkan kita dan anak-anak kita. Lantas menuliskannya... dan kalau sudah tersaji dalam rangkaian kalimat, kita tunjukkan kepada mereka. Semoga bisa memompa rasa bangga suami kita, karena telah memperistri kita. Aamiiin...
No comments:
Post a Comment