Marah! Itulah yang sedang saya rasakan saat ini.
Tiga tahun lalu. Saya masih selalu melampiaskan kemarahan saya kepada yang saya rasa salah. Saat itu, jika mendengar berita bohong tentang saya, tak berpikir lama saya akan langsung mendatanginya. Berbicara berdua, menanyakan apa maksudnya lantas mengatakan bahwa yang ia katakan bohong belaka. Tanpa memberikan kesempatan pada lawan bicara, saya mewanti-wanti agar ia tak lagi mengulangi perbuatannya. Jika digambar karikatur, saya yang marah kala itu, mungkin akan keluar cakar yang panjang, taring tajam lalu asap dari kedua telinga saya, ups! Ngeri betul!
Waktu berjalan. Saya mendapat banyak pelajaran hidup di tanah rantau ini. Dan baru saja, untuk kesekian kali, seharusnya, saya melakukan hal yang sama kepada si fulanah yang tak pernah jera ini. Hmmm... berulang kali ia 'melabrak' --istilah yang lebih pas daripada sekedar ishlah-- saya, dengan berdasar pada prasangka dan 'berita' yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, karena berasal dari anak-anak. Mending saya yang dilabraknya memang salah, lha ini... tanpa bertanya lebih dahulu, nada bicaranya menuduh, suaranya bergetar dan kemarahan nampak jelas dari sana. Wuih! Wajah saya tentu memanas. Saya tak terima. Tapi entah, kenapa cakar saya tak kunjung keluar? Taring saya masih sejajar dengan gigi seri? Dan asap yang saya harapkan keluar dari telinga tak juga menampakkan diri?
Saya hanya diam, sedikit tersenyum meski kecut, dan berpikir keras, ke mana arah pembicaraan 'kawan baik' saya ini. Lalu saya pun menutup telepon dengan pelan. Aih! Aryyyyyy... apa yang terjadi padamu? Ayooo, maki dia! *Setan dalam hati saya menyemangati*
Dan entahlah, saya tetap diam. Kemudian, seperti beberapa kejadian berikutnya, saya mengklarifikasi pihak2 dalam keluarga saya yang berhubungan dengan masalah ini. Menanyakan duduk persoalannya. Alhamdulillah, dalam keluarga kami, sudah dibudayakan untuk berbicara terbuka dan jujur, mengatakan apa adanya. Jujur = terbaik. Jujur = tidak boleh dimarahin. Dan terbukalah cerita yang insyaAllah bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Saya menghela nafas. Saya telepon kembali fulanah yang baik hati, ramah tamah dan tidak sombong ini. Bismillah...
Saya katakan menurut versi kami. MasyaAllah... Dengan ringannya dia tertawa, mencoba mencairkan suasana yang terlanjur kaku, mengatakan bahwa ini tingkah anak-anak. Tanpa merasa bersalah terhadap hati tak karuan dan jantung saya yang tak beraturan setelah mendengar kalimat-kalimat kerasnya tadi. Astaghfirullah... Lalu ia tanpa penghayatan, meminta maaf jika ada salah-salah kata. Owh... mudahnya semua berlalu.
InsyaAllah, saya memang sudah memaafkannya. Berulang kali ia lakukan ini pada saya, berulang kali pula saya melupakannya dan mencoba menjalin silaturahim yang sama.
Tapi, Bu...
Jika Anda ulang lagi, dengan terpaksa, saya akan bilang, "Ok, saya maafkan kesalahan anda kali ini. Demikian juga mohon maaf atas kesalahan saya. Tapi, saya tidak suka cara dan bahasa Anda. Lain kali, carilah dulu fakta-faktanya. Atau minimal, katakan dengan santun. InsyaAllah, saya adalah orang yang terbuka, yang lebih menghargai teguran Anda daripada Anda harus berghibah di belakang saya."
Hmm...
No comments:
Post a Comment