Wednesday, June 16, 2010

Catatan Penjual Kue: I

Tiga tahun lalu, aku datang ke negeri ini dengan satu tekad: menjadi penjual kue. Niatan kuat itu muncul dari percakapanku bersama Bapak, selama hampir empat bulan kami transit di Malang selepas resignku dari kantor tercinta. Selama itu juga, hampir tiap hari Allah memberiku kesempatan untuk berbincang bersama Bapak, lelaki perkasa yang selalu menginspirasiku. Dalam banyak kesempatan, Bapak meyakinkanku bahwa aku berbakat dalam hal kulinari. "Masakanmu enak, Nduk. Kue-kue buatanmu juga sedap," begitu pujian Bapak yang diam-diam memompa kepercayaan diri dan semangatku. Ditambah dengan sakit hati yang aku rasa ketika anak-anakku tidak bisa membeli snack atau mainan seperti ketika aku bekerja dulu, maka azzam ini makin kuat menghujam di nuraniku.

***
Pagi, menjelang Subuh, 27 Juni 2007.
Kami: aku dan dua putraku bersama Bapak, Ibu, Mami dan Kholis dalam sebuah mobil menuju Bandara Juanda, Surabaya. Degup jantungku menandakan kebahagiaan bercampur kesedihan yang tidak bisa digambarkan, hanya bisa dirasakan. Aku bahagia karena insyaAllah, inilah waktu yang Allah pilihkan setelah sekian lama kami berada dalam penantian, menuju waktu perjumpaan kami dengan si Ayah. Pun aku sedih tiada terkira, karena harus kembali menjauh dari keluarga besar tercinta. Harus kembali mendengarkan suara Bapak dan Ibu tercinta hanya dari telepon. Harus kembali jauh dari dua adikku dan keluarganya yang sudah mulai akrab lagi setelah perpisahan yang demikian panjang. Tapi inilah dunia, fana nyatanya. Tak ada yang abadi didalamnya. Perjumpaan... perpisahan, semua adalah dinamika yang harus kami lalui, tanpa boleh banyak air mata, karena memang tiada berguna. Dan sejak hijrahku ke kota kembang tahun 1999, perjumpaan maupun perpisahan adalah sahabat terbaikku.

Setelah melewati daerah Sidoarjo yang masih bergumul dengan masalah pekatnya lumpur lapindo, kami pun sampai di Juanda. Beberapa saat kemudian, Rikha dan de Ujar serta dua ponakanku yang smart datang menyusul. Aku terharu. Allahku! Begitu indah rasa kasih sayang yang Engkau sematkan dalam hati kami. Bantulah kami meneruskannya kepada anak cucu kami, agar mereka pun dapat merasakan keindahan yang sama, seperti yang kami rasakan, aamiiin...

Beberapa saat menjelang check in.
Aku berpamitan dengan Bapak dan Ibu untuk pergi ke dalam, guna melakukan proses check in. Setelah mengikuti prosedur dengan membayar Fiskal sejumlah 1 juta dan mengisi surat bebas fiskal untuk kedua buah hatiku, aku pun antri dengan rapi, di barisan yang telah ditentukan. Sampai pada giliranku, aku menyerahkan paspor dan surat dari bea cukai. Begitu kagetnya aku karena ternyata adalah masalah dengan tiket pesawatku. Aku yang ke Malaysia tidak membawa calling visa, diwajibkan membeli tiket return *tiket PP Sub-Senai* dengan jangka waktu paling lama dua bulan. Aku ngotot mengatakan bahwa di Johor ada suamiku yang sedang bersekolah, dan aku tidak mungkin pulang cepat. Petugas kembali menjelaskan sedangkan aku semakin ngotot. Namun akhirnya aku harus kalah oleh peraturan yang sudah dibuat. Aku harus membeli tiket balik dari Johor kembali ke Surabaya, sebelum akhir Agustus. Sedihnya... Maka aku pun berlari ke luar. Alhamdulillah, Allah Maha Mengetahui. Di luar ada mas Dede, calon suami Mbak Mal, calon menantu Mami. Belum sempat berkenalan, aku pun bergegas bersama mas Dede menuju bank tempat beliau bekerja untuk menukar uang. Sejumlah uang aku tukar demi mendapatkan rupiah untuk membeli tiket yang dimaksud. Tak lama kami pun berlari menuju loket Air Asia untuk membeli tiket pada pertengahan Agustus. Alhamdulillah, meski penuh kepanikan, akhirnya urusan ini selesai dan aku bisa check in, menjelang loket ditutup. Maka, pamitan kami pun menjadi ala kadarnya. Kupeluk Ibu dan Mami... kucium tangan Bapak dengan ta'zim... kupeluk adikku satu-satu, kujabat tangan iparku, dan kuciumi kedua ponakanku dengan linangan air mata. Satu pesan Bapak yang harus aku ingat dan aku sampaikan kepada suami dan anak-anakku: jaga sholat kita! InsyaAllah, Pak!

Setengah berlari aku, dengan membawa tas, menggendong Zaki dan masih menenteng baby bag, masuk kembali ke dalam ruangan bandara. Diantar mas Dede kami pun naik ke atas. Setelah membayar airport tax, mas Dede membantu mengisi form imigrasi, dan mengantar aku duduk di ruang tunggu. Kini yang kurasakan hanya bahagia. InsyaAllah, kami akan berjumpa dengan si Ayah...
Setelah melalui beberapa prosedur berikutnya, kami pun kini sudah berada di pesawat. Kuhela nafas panjang-panjang. Alhamdulillah, kami sampai di titik ini, Rabb..

***
Perjumpaan dengan kekasih hati selalu menyisakan kebahagiaan tak berujung.
Pun perjumpaan kami dengan si ayah. Sementara aku masih sibuk mencari tas dan barang2 di bagasi, Mas melambaikan tangannya kepada kami. Iq nampak malu dan kebingungan, begitulah ia selalu. Ia pun berlari menuju sang ayah. Setelah aku mendapatkan semua barang dan melalui imigrasi serta bagage check, aku pun bergegas menuju mereka. Kami berpelukan. Damainya saat itu... Sementara Zaki bengong, mungkin ia bingung, siapa lelaki yang begitu merasa akrab dengannya itu, he he...

No comments: