Pagi yang cerah. Allah, semua akan bermula hari ini... Hamba memohon kemudahan padaMu. Turunkan bantuanMu dalam setiap desah nafas kami, aamiiin...
Hari-hari pertama di kolej perdana kulalui dengan suka ria. Kehidupan baru, lingkungan baru, kawan-kawan baru, dan pertemuan kami yang boleh dibilang kembali baru. Tak jarang kami terlibat dalam percekcokan karena kami merasa kembali beradaptasi. Banyak yang tak kuduga dan tak kuinginkan, mas lakukan. Hal-hal yang sepele memang, tapi cukup mengganggu pikiran dan hatiku. Di sini, aku benar-benar terjun menjadi seorang Ibu rumah tangga sejati. Sesekali kusempatkan menulis dan mengirimkannya ke eramuslim, dan Alhamdulillah diterima. Tujuannya satu, biar otakku terus berkembang, karena katanya, otak yang tidak diasah akan mati perlahan-lahan, hiiii... atut!
Tepat empat hari kami di sini, berita mengejutkan kembali kami terima. Mas harus mengikuti pra jabatan selama sebulan di Malang. MasyaAllah!Baru saja kami berkumpul di sini, sudah harus berpisah lagi. Ketakutan dan kekhawatiran pun bermunculan. Bagaimana nanti jika kami ada kesulitan di sini? Bagaimana mengantar Iq sekolah? Bagaimana belanja untuk makan sehari-hari? Kami benar2 akan ditinggal di sebuah negeri asing, yang betul-betul asing buat kami. Daerah ini bukan wilayah kekuasaanku di mana aku boleh bermain sesukanya. Aku pendatang baru di sini. Kalau anakku sakit? Aaaarrrrrrggggggggggggggggghhhh! Hatiku menjerit! Tapi apa boleh buat? Pra jabatan ini wajib hukumnya diikuti oleh Mas sebagai CPNS biar posisinya benar2 bisa disebut PNS. Aku menelepon orang tuaku. Mereka mendinginkan hatiku, menenangkan perasaanku. Mereka mengatakan, aku pasti bisa. InsyaAllah. Ok, akhirnya, aku terima tantangan ini.
Pagi itu, Mas menunjukkanku jalan menuju sekolah Iq. Berputar, cukup jauh dan berat buatku, seorang Ibu yang ke mana-mana harus menggendong bayi 9 bulanku. Tapi semua harus dijalani bukan? Maka, dengan sedikit merajuk, aku pun mengikuti rute yang ditunjukkan Mas. Berikutnya, kami pun diajak ke jusco. Membeli peralatan dapur dan belanja. Kembali kami berjalan hingga temukan taxi yang mengantar kami ke jusco. Kata Mas, biasanya ada bus yang bisa kita naiki dengan free. Tapi berhubung ini masa liburan, maka satu-satunya jalan bagi kami yang belum punya kendaraan ini, adalah dengan berjalan kaki. Beruntung jika ada kawan yang sejalur dan menawarkan kami untuk bersama. Jika tidak, sejauh apa pun ya memang harus jalan kaki. Pppffffiiiuhhh! Bisa-bisa jadi kesebelasan nih! Gerutuku. Mas cuma tersenyum.
Lalu, hari itu pun tiba. Mas benar-benar harus kembali ke Indonesia. Semalam, ia menitipkan kami ke kawannya, Pak Agung dan istri. Jika ada apa-apa, kata Mas jangan sungkan minta tolong ke beliau. Wedeww... baru juga kenal dah ngerepotin! Bukan aku banget!
***
Pagi yang sepi. Aku mulai disibukkan oleh urusan sekolah Iq: mengantar dan menjemput. Beruntung, aku punya seorang kenalan baru yang ternyata sama-sama tak punya kendaraan. Bu Abu namanya. Kami pun sering jalan kaki berdua, mengantar dan menjemput Iq dan Ahnaf. Begitulah. Allah Memang Tak Akan pernah membiarkan kita dalam kesulitan sendirian. Dia akan berikan kemudahan, entah berupa kawan untuk mendampingi maupun bantuan lain, yang awalnya kita tak pernah tahu. Terkadang, Bu Abu yang sudah banyak mengenal ibu-ibu di sini, diantar kawannya *yang akhirnya juga menjadi kawanku, he he* untuk menjemput anaknya. Dan aku, boleh nebeng! Alhamdulillah...
Dua minggu kemudian, dah ada bus yang lalu lalang. Maka pekerjaan jemput menjemput pun tak lagi seberat sebelumnya. Tuh kan, Allah berikan bantuanNya lagi, Subhannallah!
Suatu hari, ketika aku terlalu awal menjemput Iq, aku putuskan untuk duduk-duduk di bus stop yang letaknya agak jauh dari Tadika Ihsan. Di depan Padang Kawad, persisnya. Kulihat handphone, dan kudapati masih setengah jam lagi Iq keluar dari kelasnya. Beberapa saat kemudian, sebuah taxi mendekat. Nampak sang sopir adalah lelaki yang boleh dibilang sudah tua, lebih tua dari Bapak bahkan, berpeci putih dan berwajah cukup ramah. Beliau tersenyum dan menyapaku. "Sendirian?" tanyanya. Aku mengangguk, membalas senyumnya. "Awak duduk kat mane?" Aku yang baru tiga minggu di sini, bingung dengan pertanyaan beliau. "Apa?" Rupa-rupanya beliau faham bahwa aku bukan orang Melayu. Lalu beliau pun mencoba berbahasa yang aku mengerti. "Di Kolej Perdana, U8," jawabku. "Awak ikut orang mana? Melayu ker? Chinesse ker?" tanyanya kemudian. Ups! Agak kaget juga mendengar pertanyaan yang baru saja beliau lontarkan. Lalu aku melihat penampilanku. Rok panjang bunga-bunga, kaos lengan panjang warna biru, kerudung kaos dan sandal jepit! He he, pantas. Jika dikira aku sedang mengasuh dan menunggu anak pertama majikanku. Aku tersenyum sebelum menjawab, "Saya ikut suami, Pak." "Suami awak kerje kat mana? Pensyarah?" Beruntung aku sudah diberi tahu Mas, bahwa pensyarah adalah istilah yang sama dengan dosen. "Bukan, suami saya student." "Ooowwh, ambik master ker PhD?" "PhD, Pak. Alhamdulillah," jawabku lagi. Kemudian sang Bapak bercerita bahwa banyak orang Indonesia yang bersekolah di UTM ini. Sedangkan anaknya sekolah kedokteran di UGM, katanya. Subhannallah! Seorang sopir taxi bisa menyekolahkan anaknya di kedokteran Gajah Mada, Subhannallah.
Kulirik jam di handphoneku, lima menit lagi sekolah Iq usai. Aku pun pamit pada pak sopir. Kurapikan gendongan Zaki dan kami pun beranjak dari bus stop, meninggalkan Pak Sopir yang masih menyunggingkan senyum di bibirnya.
Siang itu, kami kembali berjalan pulang karena bus yang ditunggu-tunggu belum juga lewat.
No comments:
Post a Comment