Wednesday, December 1, 2010

Surga di mana-mana

Mendung menggantung di langit Skudai. Sepi. Musim liburan kampus membuat hati saya nyeri. Terlebih ketika kami harus berpindah sementara dari zone nyaman ini... Ah!

Sabar! Yup! Kata itulah yang harus baik-baik saya patri dalam hati, lantas saya implementasikan dalam sikap diri. Saya yakin, ketika nanti sudah terlewati, semua akan seperti masa-masa sebelumnya. InsyaAllah, semua akan baik-baik saja. Akan banyak kebahagiaan, akan banyak tawa. Akan banyak cerita berbeda. Jika pun ada tangis di sela-selanya, itu wajar saja. Karena, inilah dunia.

Saya mau cerita apa sih? Serius sekali nampaknya...
Benar. Ini memang sesuatu yang serius. Hampir tiga tahun kami tidak pulang kampung. Terakhir kami pulang sebelum lebaran 2008. Dan ternyata ini telah mempengaruhi jiwa saya. Merasa sudah nyaman tinggal di sini, berjualan kue sehari-hari... mengantar jemput anak-anak ke sekolah, menuntut ilmu di forum-forum Islami, membuat saya menemukan kenyamanan berbeda, yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Kata seorang kawan, "Hidup di sini seperti pura-pura. Tidak nyata. Seperti di surga."
Pernyataan itu saya rasa banyak benarnya. Meski tumpuan utama ekonomi kami adalah dana beasiswa, namun harga-harga yang nampak murah membuat kami tak banyak berpikir ketika mengeluarkan biaya. Berbeda di negeri tercinta. Menurut cerita salah seorang kawan, semua berasa mahal. Ah, bagaimana saat kami di sana? Tiba-tiba saya merasa rasa yang sama, bertahun lalu.

Saat itu saya masih di kota kembang, bekerja sebagai seorang Asisten Direktur. Setiap pagi saya berangkat pagi menuju kantor tercinta. Tinggal di ruangan ber-AC, dilayani, bekerja dengan riang dan ringan, saya merasakan surga. Saya berkata, inilah dunia saya sesungguhnya! Saya mencintai data, menyukai angka-angka, selalu merindukan kata-kata yang harus dirangkai menjadi sebuah laporan kerja. Saya senang dengan semuanya. Saya memiliki kawan-kawan yang sepaham, yang selalu menyuguhkan keceriaan... Lalu, kecintaan saya kala itu, membuat saya merasa takut kehilangan. Saya takut keluar dari lingkup nyaman itu. Maka saya pun mencari segala cara, untuk berdiplomasi ketika keluarga tercinta menawarkan kehidupan yang berbeda.

Tapi ternyata, di sini, saya bisa mendapatkan kenyamanan serupa. Meski kondisinya berbeda, tak ada angka-angka dalam lembaran kerja, tak perlu menyajikan data, tak diharuskan membuat laporan kerja, saya, dalam dunia baru ini juga bekerja dengan riang dan ringan. Saya pun merasakan surga. Browshing resep baru lantas segera dicoba, dilempar ke pasaran dan diminati kawan, pergi ke kedai mengantar kue setiap pagi... menyetir kendaraan sendiri --sesuatu yang tak pernah saya sangka sebelumnya--, menerima gaji hampir setiap hari, memiliki banyak kawan dan sahabat yang menyayangi saya dengan sepenuh cinta...

Ahhhh, saya mendesah panjang. Saya penuhi paru-paru dengan oksigen sebanyak yang saya bisa. Saya merenung. Saya berpikir.

Allah...
Maka nikmatMu mana lagi yang bisa hamba dustakan?
Sesungguhnya, setiap episode kehidupan... di mana pun kita berada, nikmat Allah senantiasa menyertai. Pengalaman saya, ketika kita mempunyai niat baik, lalu kita paparkan dalam doa, kita implementasikan dalam kerja nyata sebaik yang kita bisa, kita akan menemukan sebuah dunia yang begitu pantas untuk dicinta. Kita akan merasakan kenyamanan. Kita akan merasa kebahagiaan. Dan disanalah surga kita...

Maka Allahku,
ketika kenyamanan itu sudah memeluk erat hati hamba,
jangan biarkan hati ini condong hanay kepada urusan duniawi...
hingga hamba melupakan sisi ukhrowi, yang seharusnya hamba jaga keseimbangannya.

Maka Rajaku,
Ijinkan hamba untuk selalu bisa melakukan yang terbaik, bagi dunia dan akhiratku,

aamiiin ya Rabb...

*Bersiap menuju negeri tercinta... Indonesia!

Saturday, November 20, 2010

Rihlah Penuh Hikmah

Pagi yang malas. Saya bolak balik tubuh penat ini di tempat tidur. Saya mendengar dering telepon tapi lemas rasanya badan ini sampai tak kuat untuk berdiri. Ahh, lemas apa malas? Maaf ya Bu... :-) setengah jam kemudian, masih tak sanggup saya tinggalkan kasur yang nyaman. Apalagi si ayah bercerita ini itu, mengganggu Zaki dan Thariq, membuat kami tergelak bersama. Suasana yang sangat jarang terjadi beberapa bulan ini setelah beliau sibuk menulis thesisnya. Sayang kan kalau dilewatkan?
Akhirnya, sampai satu jam masih juga di tempat tidur. Tiba-tiba saya teringat kalau hari ini ada rihlah kelompok mengaji kami di tepian tasik. Walahhhh, kok bisa lupa? Padahal berencana untuk membuat bolu gulung. Duuuuhhhh, Aryyyyy...

Bergegas saya lari ke dapur. Rencana membuat dua gulung bolu harus dilaksanakan! Cepat saya memanaskan 130 gram margarine, menuangkannya ke mangkuk keramik biar cepat dingin, lalu menakar 140 gram gula pasir. Menambahkan 2 sendok makan ovalet dan 12 kuning telur ditambah 6 putih telur. Sembari menakar bahan lain, saya meminta Thariq membantu mengocok adonan dengan mixer kecepatan penuh. 100 gram self raising flour dan 2 sdm susu bubuk dah siap, ditambah dengan dua sendok air putih. Aduk-aduk sampai rata, tak lama, adonan pun dah siap di loyang. Menunggu kue matang, saya pun segera mandi. Dan, Alhamdulillah... 20 menit kemudian, kue dah matang. Gulung-gulung... masukkan selai... Taraaa....! Siap deh... Alhamdulillah, Allah berikan kemudahan. Waktu ternyata masih ada. Saya pun menunaikan sedekah untuk tulang di tubuh saya. Dua rakaat Dhuha... dan, kami pun turun ke bawah. Bersama mbak Lina dan Bu Erna, kami berangkat menuju tempat yang telah disepakati.

Di Tasik...
Rihlah diawali dengan pengambilan kertas yang sudah digulung sedemikian rupa, layaknya arisan. Masing-masing orang mendapatkan giliran, untuk hafalan, kultum, nasyid, puisi dan menutup acara dengan doa.

Kejutan-kejutan hadir dari kawan-kawan. Hafalan Bu Erna yang luar biasa... Nasyid bu Tuti yang penuh makna, kultum mbak Yuli yang sangat mengena --tentang ghibah yang seringkali saya anggap biasa, hiks-- dan kalimat penutup dari mbak Lina yang menyadarkan saya. Bahwa doa adalah amalan terbaik yang Allah ajarkan untuk kita... doa adalah harapan yang disampaikan kepada Allah. Semoga Allah mengikat hati kita semua, untuk saling mencintai dan menyayangi karena Allah...

Alhamdulillah... rihlah penuh hikmah, terutama untuk saya pribadi. Saya bersyukur mendapatkan kawan-kawan baik yang begitu mengerti dan memahami kelemahan diri ini.
Yang selalu mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran.

Ya Allah...
Jagalah diri dan hati ini, agar senantiasa bisa menjadi orang baik. Yang selalu meniatkan semuanya karenaMu. Hilangkan penyakit di hati hamba. Maafkan salah dan khilaf hamba. Jangan biarkan hamba merasa diri ini yang terbaik, sebaliknya, berikanlah hati yang selalu merasa bahwa hamba tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan. Tutupilah aib kami ya Rabb... dan jadikanlah hamba sahabat yang baik untuk saudara hamba sesama muslim. Ampunkanlah dosa kami ya Rabb...
Aamiiin...

---
Rabb, hamba yakin, Engkau mengetahui setiap kata yang keluar dari bibir hamba... yang diolah oleh lidah hamba. Hamba berlindung kepadaMu dari ghibah, dari mencela orang, dari kemarahan yang bisa dicegah... jadikan hanya kebaikan dan niat baik saja yang menjelma dalam kalimat-kalimat hamba ya Allah... aamiiin.

Untuk kawan-kawan tercinta, maafkan jika ada salah dalam penyampaian cerita ar tadi yaa... Sungguh, semua kebaikan hanya dari Allah dan setiap keburukan dan kejelekan adalah dari saya, manusia yang dhoif...

Maaf lahir bathin...

Sunday, October 17, 2010

Lurus di Jalan Ini

Anda pernah dikhianati seorang kawan? Pernah diberitakan dan digunjingkan demikian hebat oleh seorang yang menganggap anda teman?

Rasanya hampir semuanya pernah mengalaminya ya... Di masa lalu, di saat ini, bahkan mungkin di masa depan? Who knows? Perempuan... perempuan! Berghibah memang godaan ternikmat. Awalnya mungkin sekedar berbagi cerita, lalu karena ada rasa tak suka --entah apa sebabnya-- maka apa pun yang kita lakukan menjadi salah.

Maka, ketika gosip tentang saya mampir di telinga saya sendiri, saya hanya tersenyum. Ah, dia lagi... dia lagi. Jika memang salah, apa salah kami pada mereka? Kenapa mereka tak menegur saja secara langsung? Jika gunjingan ini hadir karena iri, apa yang kami punya dan membuat mereka terbakar rasa ingin memiliki? Harta kami? Rasanya tidak, karena kami hidup seperti keluarga pelajar kebanyakan. Jika kami bisa membelikan mainan anak-anak lebih banyak, itu karena rahmah Allah yang memberikan kemudahan pada usaha saya. Entahlah...

Maka, ketika untuk kesekian kalinya gosip itu mampir kembali ke kami, ada rasa di hati ini untuk mengklarifikasi kepada orang lain yang mungkin ia ajak bergosip. Hati saya bolak-balik... berulang saya pikirkan langkah ini.

Lalu jika saya melakukannya, apa manfaatnya? Palingan saya malah mengikuti langkahnya, sibuk ngobrol ke sana ke mari. Itu jika saya bisa menjaga mulut saya untuk tidak membicarakan keburukannya menurut saya, tidak tidak? Saya akan ikuti jalannya, berghibah kian kemari! Iiihhhh, syereeeemmm... Naudzubillah!

Maka Allahku,
hamba sudah memilih jalan ini. Untuk diam. Untuk tidak mengcounter apa pun yang mereka katakan tentang kami. Ijinkan kami terus lurus di jalan ini. Kuatkan langkah-langkah kami yang seringkali hampir goyah karena bisikan musuhMu.

Ridhoilah usaha kami ini Rabbi...
Karena kami yakin, Engkau Maha Tahu apa yang terjadi di antara kami.
Jagalah kebersihan hati kami ini. Jauhkan dari sifat-sifat buruk yang Engkau murkai...
Ampunkan dosa-dosa kami...
Jadikanlah kami orang-orang yang ikhlas...
yang sabar...
yang tawadhu...

Kami tak perlu belas kasih dan perhatian baik dari makhlukMu Rabb...
karena Kasih Sayang dan PErhatianMu, jauh lebih baik bagi kami...

Astaghfirullahal adziim...

maafkan kami, saudaraku semua. Jika dalam bertutur dan bersikap, kami sering melukai Saudara sekalian. Semoga Allah selalu memberkahi dan meridhoi langkah kita, aamiiin...

Jika Anda Melakukannya Lagi

Marah! Itulah yang sedang saya rasakan saat ini.

Tiga tahun lalu. Saya masih selalu melampiaskan kemarahan saya kepada yang saya rasa salah. Saat itu, jika mendengar berita bohong tentang saya, tak berpikir lama saya akan langsung mendatanginya. Berbicara berdua, menanyakan apa maksudnya lantas mengatakan bahwa yang ia katakan bohong belaka. Tanpa memberikan kesempatan pada lawan bicara, saya mewanti-wanti agar ia tak lagi mengulangi perbuatannya. Jika digambar karikatur, saya yang marah kala itu, mungkin akan keluar cakar yang panjang, taring tajam lalu asap dari kedua telinga saya, ups! Ngeri betul!

Waktu berjalan. Saya mendapat banyak pelajaran hidup di tanah rantau ini. Dan baru saja, untuk kesekian kali, seharusnya, saya melakukan hal yang sama kepada si fulanah yang tak pernah jera ini. Hmmm... berulang kali ia 'melabrak' --istilah yang lebih pas daripada sekedar ishlah-- saya, dengan berdasar pada prasangka dan 'berita' yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, karena berasal dari anak-anak. Mending saya yang dilabraknya memang salah, lha ini... tanpa bertanya lebih dahulu, nada bicaranya menuduh, suaranya bergetar dan kemarahan nampak jelas dari sana. Wuih! Wajah saya tentu memanas. Saya tak terima. Tapi entah, kenapa cakar saya tak kunjung keluar? Taring saya masih sejajar dengan gigi seri? Dan asap yang saya harapkan keluar dari telinga tak juga menampakkan diri?

Saya hanya diam, sedikit tersenyum meski kecut, dan berpikir keras, ke mana arah pembicaraan 'kawan baik' saya ini. Lalu saya pun menutup telepon dengan pelan. Aih! Aryyyyyy... apa yang terjadi padamu? Ayooo, maki dia! *Setan dalam hati saya menyemangati*
Dan entahlah, saya tetap diam. Kemudian, seperti beberapa kejadian berikutnya, saya mengklarifikasi pihak2 dalam keluarga saya yang berhubungan dengan masalah ini. Menanyakan duduk persoalannya. Alhamdulillah, dalam keluarga kami, sudah dibudayakan untuk berbicara terbuka dan jujur, mengatakan apa adanya. Jujur = terbaik. Jujur = tidak boleh dimarahin. Dan terbukalah cerita yang insyaAllah bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Saya menghela nafas. Saya telepon kembali fulanah yang baik hati, ramah tamah dan tidak sombong ini. Bismillah...
Saya katakan menurut versi kami. MasyaAllah... Dengan ringannya dia tertawa, mencoba mencairkan suasana yang terlanjur kaku, mengatakan bahwa ini tingkah anak-anak. Tanpa merasa bersalah terhadap hati tak karuan dan jantung saya yang tak beraturan setelah mendengar kalimat-kalimat kerasnya tadi. Astaghfirullah... Lalu ia tanpa penghayatan, meminta maaf jika ada salah-salah kata. Owh... mudahnya semua berlalu.

InsyaAllah, saya memang sudah memaafkannya. Berulang kali ia lakukan ini pada saya, berulang kali pula saya melupakannya dan mencoba menjalin silaturahim yang sama.

Tapi, Bu...
Jika Anda ulang lagi, dengan terpaksa, saya akan bilang, "Ok, saya maafkan kesalahan anda kali ini. Demikian juga mohon maaf atas kesalahan saya. Tapi, saya tidak suka cara dan bahasa Anda. Lain kali, carilah dulu fakta-faktanya. Atau minimal, katakan dengan santun. InsyaAllah, saya adalah orang yang terbuka, yang lebih menghargai teguran Anda daripada Anda harus berghibah di belakang saya."

Hmm...

Friday, October 15, 2010

Vocab Zaki

Zaki, 4 th 1 bulan.

Bocah yang rame. Ngomong ga pernah berhenti. Seringkali vocabnya lucu... mungkin itu yang ditangkap telinganya dan persepsinya. Tapi jadi lucuuuu... Ini ni misalnya:

bilang tentang jadi kentang
mau bialng sprei, malah kisspray, hihi... promosi ya de?
amplop, bilangnya amplok! wkekkwkwk
krupuk lekor, bilangnya kerupuk kelekor, qiqiqiq
ngincip, bilangnya mincip! ha ha

naaahhhh, pas ada lagu, "aku pasti bisaaaa!!!" dia tirukan kok malah jadi, "aku pasti pingsaaaaaaaaaannnnnN! wahahahahaha....

Tuesday, October 12, 2010

Apa Rasamu untuk Suamimu?

Jika ada orang yang bertanya, apa perasaanmu untuk suamimu? Dulu, sekarang dan insyaAllah nanti? Secara spontan seorang istri pasti akan mengatakan cinta! Hmmm... betulkah? Apakah cinta yang saya rasakan dulu, sama dengan saat ini... atau bahkan nanti jika kami sudah menua? Maka saya pun perlu berpikir sejenak untuk mengurainya.

Dulu.
Selepas akad nikah. Sembilan tahun lepas. Saya sendiri seringkali bingung dengan rasa hati ini untuknya. Ia datang dengan tiba-tiba. Jumpa dalam bus antar kota antar propinsi, menuju tanah rantau, kami tak banyak berbincang. Lalu beberapa hari sesudahnya, ia mencoba menghubungi saya kembali namun tak bersambut. Saya malas menanggapinya. Dan ia pun menghilang. Hingga sepuluh bulan kemudian, ia datang menyatakan niatnya untuk memperistri saya. Tanpa pendekatan berarti, tanpa basa basi. Uhhh! Jantung saya berdegub keras mendengar pinangannya. Seminggu tak bisa lena tidur, ia sudah mendatangi rumah saya di Malang, mengutarakan niat baiknya kepada Bapak. Ketika Bapak sepakat, dua bulan kemudian keluarganya melamar saya secara resmi. Dan tiga bulan sesudahnya, kami menikah. Semua serasa serba cepat dan mendadak, di tengah kesibukan saya sebagai pelatih perkoperasian, yang hampir tiap hari bertugas ke luar kota bahkan pulau. Maka, ketika saya sudah berada di kamar pengantin bersamanya, saya pun sedikit bingung dengan semuanya. --belakangan saya ketahui ternyata si dia juga merasakan hal yang sama, hihihi--

Saat itu, yang ada dalam benak saya adalah tekad yang kuat untuk menyayangi dan menghormatinya, sebagai seorang suami yang direstui oleh orang tua saya dan tentunya dipilihkan Allah untuk saya. Meski sulit, saya terus menjadi pembelajar untuk hal yang satu ini.

Tak lama! Beberapa waktu sesudahnya, rasa sayang itu mulai menguat. Ia hadir dengan perhatian berlebih dan usaha keras yang selalu berujung pada kebahagiaan saya. Wajar, jika lantas saya pun jatuh cinta. Ahhh, indah rasanya mengenang tumbuhnya cinta di hati ini.

Sekarang.
Rasa itu makin meraja. Saya mencintainya dengan segenap jiwa saya. Saya mencintainya karena Allah Sang Maha Cinta. Bahkan kadang saya merajuk padanya, jika ia mulai nampak semakin sibuk dengan aktivitasnya sebagai pelajar. Saya bilang, cinta saya bertepuk sebelah tangan! Ihhh, kok jadi terbalik? He he he... --biasalah, perempuan memang suka melebih-lebihkan... senang bermain dalam tataran perasaan!--

Sekarang, saya ingin selalu berada di sampingnya, meski ini tak mungkin lagi. Kesibukan sedang rajin-rajinnya mendatangi kami. Mengisi hampir penuh waktu kami, hingga berbincang menjadi aktivitas yang harus diusahakan. Bersyukur, ia memahami keinginan saya. Setiap hari, ia sisihkan waktunya buat saya berceloteh. Mengisahkan kejadian lucu yang terjadi di rumah tinggal kami, mencurahkan isi hati yang sedang galau, atau sekedar mengulang memori indah cerita kami. Wah, saya baru sadar! Ternyata, saya amat jarang menanyakan kabarnya, tentang kesehatannya, kemajuan studinya... Duh, Sayang... maafkan ary ya.

Nanti.
InsyaAllah Ya Tuhanku...
Hamba ingin selalu Engkau jaga rasa cinta dan kasih sayang ini di hati hambaMu yang dhoif ini, juga di sanubarinya. Ijinkanlah agar ia senantiasa tumbuh bermekaran dalam jiwa kami. Jadikan rasa ini sebagai sarana untuk semakin mencintaiMu duh Gustiku...
Kami ingin menua bersama. Menjaga buah cinta amanahMu... Mendidik mereka bersama, hingga menjadi pembela dienMu yang tangguh. Hingga mereka menjadi khalifah agung nan adil di muka bumiMu ini Rabb... Hamba ingin, rasa itu tak akan pernah pudar, meski wajah muda kami kian memudar dimakan waktu. Meski uban tumbuh dan makin memenuhi kepala kami. Jadikanlah tangan kami terus saling menggenggam, meski kekuatan kami kian berkurang...
Dan kumpulkanlah kami semua dalam syurgamu nan abadi, aamiiin...

Yups! Itulah yang bisa saya katakan tentang rasa hati ini untuk suami saya terkasih. Bagaimana dengan Anda, para sahabat? Para istri shalihah? Yuk! Mengurai rasa kita untuk lelaki yang lebih dari separuh waktunya mereka gunakan untuk memikirkan kita dan anak-anak kita. Lantas menuliskannya... dan kalau sudah tersaji dalam rangkaian kalimat, kita tunjukkan kepada mereka. Semoga bisa memompa rasa bangga suami kita, karena telah memperistri kita. Aamiiin...

Monday, October 11, 2010

Kejutan dari Zaki

Beberapa hari ini, mama 'dipaksa' Zaki untuk membacakan buku cerita. Owh! Ternyata, masa 3-5 tahun Iq berulang padanya, he he. Persis seperti Iq, Zaki selalu datang dengan setumpuk buku. Hmm... bagaimana mereka bisa memiliki kisah yang sama? Beberapa hari sebelumnya, mama mulai rajin membacakan buku. Satu... dua... paling banyak tiga buku. Rupa-rupanya, itu aktivitas yang menarik hatinya. Hingga, se-bad mood apapun dia, selalu bisa tersenyum ceria ketika ditawarkan baca buku. Aih, anak mama...

Dan semalam...
Zaki datang ke mama yang lagi asyik nunggu soes matang --sembari nonton tivi, hihi... ampun, Nak!--
Dia membuka lembar demi lembar bukunya... dari halaman pertama, daaaaannnn...
Membacanya persis seperti gaya mama membaca. Subhannallah!

Mama dan Iq saling berpandang atas kejutan manis ini...

Sunday, October 10, 2010

Cinta Nyata di balik Diammu

Pagi yang seperti biasa. Kuantar kue ke kedai-kedai di kampus luas nan alami ini. Di negeri jiran, di tempat yang awalnya teramat asing buatku. Alhamdulillah Rabb, Kau beri hamba warna indah ini... Kau beri kami kesempatan untuk menghirup udara sejuknya, menikmati asrinya, dan bergerak di buminya, demi menjemput rizki yang sudah Engkau tentukan ketetapannya untuk kami.

Pula, setiap aku dalam kesendirian. Pikiranku tak bisa berhenti bekerja. Rasa syukur terus menyeruak dari kalbu, dan terlantun dalam bisik kalimatku. Alhamdulillahi robbil 'alamiin...

Dan kini, tiba-tiba wajah kekasihku terbayang jelas. Meski ia terkenal dengan sosoknya yang pendiam, sungguh! Dia tak pernah diam didepanku. Dia selalu saja hadir dengan senyum jenakanya, dengan usahanya memberikan cerita lucu agar aku tertawa. Dan tadi malam, ia kembali hadir dengan cintanya. Ia mengatakan tak ingin melihat Bapak dan Ibuku bersedih. Maka, tanpa kuminta, ia berusaha mewujudkannya. Ia, dengan caranya, kemarin, telah menyuguhkan sebentuk asa untuk orang tuaku.

Ya Rabbana...
Maka pilihlah hamba menjadi bidadarinya di surgaMu kelak,
agar hamba bisa terus membahagiakannya...
Agar hamba bisa selalu menghadirkan senyuman di bibirnya...
ketenangan di hatinya...
Hamba ingin terus bersamanya,
bersama lelaki...
yang setiap desah nafasnya, adalah usaha tak kenal putus, demi kebahagiaanku dan anak-anakku...
kabulkan doaku Rabb...
Kumpulkan kami dalam jannahMu, aamiiin...

Friday, October 1, 2010

Catatan Penjual Kue III: Dua minggu tanpa si Ayah

Hari berganti hari. Aku masih disibukkan dengan baby Zaki dan antar jemput Iq. Jika sore tiba, kami jalan ke Kolej 9, untuk beli lauk pauk guna makan sehari. Seperti hari-hari sebelumnya, sore itu, kugendong Zaki dan kutuntun Iq, menyusuri jalanan yang turun naik menuju Kolej 9. Bercanda sepanjang jalan, meringankan langkah yang kian hari kian terasa berat. Sampai di depan lapangan futsal, aku sama sekali tidak melihat lubang besar di depanku. Maka aku pun terjerembab. Disaksikan beberapa pasang mata, yang bukannya menolong malah tersenyum kegelian, kurasakan wajahku memanas. Pasti merah nih pipi! Huuuffft! Kuusahakan berdiri secepat mungkin, dan kucoba untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Kulirik sebentar orang-orang yang beberapa detik menghentikan langkah atau kendaraan mereka, dan kembali kuajak Iq bercanda. Agak bingung Iq melihat roman mukaku. Duuuh, sayang! Mama maluuuu! Hiks...

***
Pulangnya, kami mendapat tumpangan dari Bu Nurma, yang lebih akrab dengan panggilan bu Bambang --seseorang yang di hari-hari berikutnya menjadi sahabat karibku--
Alhamdulillah.

Malam itu dan malam-malam berikutnya, aku mulai terbiasa dengan rutinitas. Dan kembali merasa biasa, dengan kesendirian.
Hingga suatu pagi kudapati tubuh Zaki demam. Tinggi sekali. Aku mulai sedikit panik. Kuutarakan kesulitanku kepada bu Agung. Beliau mengajakku ke rumah Bu Marwan, istri student yang di sini bekerja sebagai dokter di klinik milik orang Melayu. Zaki diperiksa. Suhu tubuhnya mencapai 38.7 derajat celcius. MasyaAllah, Nak! Zaki nampak mulai lemas. Ia tak seceria biasanya. Hanya sesekali saja ia bergerak, tak lagi aktif seperti sebelumnya. Aku menangis. Rabb, sembuhkanlah anakku. Malamnya, demam Zaki makin tinggi. Kugunakan metode kangguru untuk mengurangi demamnya. Kumasukkan ia ke dalam pakaianku dan kupeluk ia erat. Kurasakan panas badannya mengalir ke tubuhku. Ayo Sayang, transferlah panas tubuhmu ke mama dan ambillah dingin tubuh mama. Cepat sembuh, Sayang. Kuciumi ia berulang kali. Sesekali rintihannya terdengar. Duh Gusti, tak sanggup rasanya hamba melihat tubuh kecil itu tersiksa demam.
Malam berlalu sangat lambat.

***
Selepas subuh, kuperiksa kembali tubuh Zaki. Masih demam. Sementara Zaki tertidur kulakukan tugas harian a la ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel, mencuci dan memasak untuk sang buah hati. Begitu matahari mulai nampak, kembali kudatangi rumah bu Agung. Aku meminta informasi tentang jalan menuju klinik. Bu Agung langsung tanggap. Beliau meminta tolong kepada Pak Lalu, seorang student asal Lombok yang juga menetap di Malang. Tanpa banyak pertimbangan, Pak Lalu mengantar kami ke klinik. Zaki dengan baju hangatnya sesekali menangis dalam pelukanku. Sementara Iq tak bersekolah hari itu.

Sesampai di klinik, pak Lalu mengurus semuanya. Diberikannya kartu berobat kepada petugas yang nampak cekatan menangani pasien dengan demam tinggi. Tak sampai lima menit, kami sudah berada di ruangan dokter. Dokter meminta aku membaringkan Zaki ke tempat tidur. Beliau menyarankan agar aku melepas baju hangatnya, dan menggantinya dengan baju tipis, supaya hawa dingin dari luar bisa ikut meredakan panas Zaki. Kulihat sang dokter mengambil air dingin lantas mengusap kepala Zaki. Suster tak ketinggalan, membantu memasukkan obat melalui anal anakku. Aku sedikit surprise dengan penanganan demam di negeri ini. Tak mau penasaran aku pun bertanya. Lalu dokter pun menerangkan dengan perumpamaan. Bahwa demam ibarat air panas dalam cerek. Jika kita rendam ia dengan air dingin, maka air tersebut juga lebih cepat dingin. Itulah mengapa anak yang demam diusap kepalanya dengan air, supaya air dingin tersebut bisa membantu menurunkan demam yang berasal dari tubuh si anak. Bahkan, anak demam sebaiknya tetap dimandikan, dengan tidak berlama-lama tentunya. Dan baju hangat sungguh tidak boleh digunakan pada anak demam, karena hanya akan membuat si demam terus bertahan di tubuh anak. Ih, berarti selama ini salah dong ya... wah wah!

Subhannallah, begitu keluar dari klinik, suhu tubuh Zaki dah kembali normal. Keringat keluar deras dari tubuhnya, Alhamdulillah Ya Rabb! Kuucapkan terima kasih kepada pak Lalu dan bu Agung. Alhamdulillahi robbil 'aalamiin...

Thursday, June 17, 2010

Catatan Penjual Kue: III

Pagi yang cerah. Allah, semua akan bermula hari ini... Hamba memohon kemudahan padaMu. Turunkan bantuanMu dalam setiap desah nafas kami, aamiiin...

Hari-hari pertama di kolej perdana kulalui dengan suka ria. Kehidupan baru, lingkungan baru, kawan-kawan baru, dan pertemuan kami yang boleh dibilang kembali baru. Tak jarang kami terlibat dalam percekcokan karena kami merasa kembali beradaptasi. Banyak yang tak kuduga dan tak kuinginkan, mas lakukan. Hal-hal yang sepele memang, tapi cukup mengganggu pikiran dan hatiku. Di sini, aku benar-benar terjun menjadi seorang Ibu rumah tangga sejati. Sesekali kusempatkan menulis dan mengirimkannya ke eramuslim, dan Alhamdulillah diterima. Tujuannya satu, biar otakku terus berkembang, karena katanya, otak yang tidak diasah akan mati perlahan-lahan, hiiii... atut!

Tepat empat hari kami di sini, berita mengejutkan kembali kami terima. Mas harus mengikuti pra jabatan selama sebulan di Malang. MasyaAllah!Baru saja kami berkumpul di sini, sudah harus berpisah lagi. Ketakutan dan kekhawatiran pun bermunculan. Bagaimana nanti jika kami ada kesulitan di sini? Bagaimana mengantar Iq sekolah? Bagaimana belanja untuk makan sehari-hari? Kami benar2 akan ditinggal di sebuah negeri asing, yang betul-betul asing buat kami. Daerah ini bukan wilayah kekuasaanku di mana aku boleh bermain sesukanya. Aku pendatang baru di sini. Kalau anakku sakit? Aaaarrrrrrggggggggggggggggghhhh! Hatiku menjerit! Tapi apa boleh buat? Pra jabatan ini wajib hukumnya diikuti oleh Mas sebagai CPNS biar posisinya benar2 bisa disebut PNS. Aku menelepon orang tuaku. Mereka mendinginkan hatiku, menenangkan perasaanku. Mereka mengatakan, aku pasti bisa. InsyaAllah. Ok, akhirnya, aku terima tantangan ini.
Pagi itu, Mas menunjukkanku jalan menuju sekolah Iq. Berputar, cukup jauh dan berat buatku, seorang Ibu yang ke mana-mana harus menggendong bayi 9 bulanku. Tapi semua harus dijalani bukan? Maka, dengan sedikit merajuk, aku pun mengikuti rute yang ditunjukkan Mas. Berikutnya, kami pun diajak ke jusco. Membeli peralatan dapur dan belanja. Kembali kami berjalan hingga temukan taxi yang mengantar kami ke jusco. Kata Mas, biasanya ada bus yang bisa kita naiki dengan free. Tapi berhubung ini masa liburan, maka satu-satunya jalan bagi kami yang belum punya kendaraan ini, adalah dengan berjalan kaki. Beruntung jika ada kawan yang sejalur dan menawarkan kami untuk bersama. Jika tidak, sejauh apa pun ya memang harus jalan kaki. Pppffffiiiuhhh! Bisa-bisa jadi kesebelasan nih! Gerutuku. Mas cuma tersenyum.

Lalu, hari itu pun tiba. Mas benar-benar harus kembali ke Indonesia. Semalam, ia menitipkan kami ke kawannya, Pak Agung dan istri. Jika ada apa-apa, kata Mas jangan sungkan minta tolong ke beliau. Wedeww... baru juga kenal dah ngerepotin! Bukan aku banget!
***

Pagi yang sepi. Aku mulai disibukkan oleh urusan sekolah Iq: mengantar dan menjemput. Beruntung, aku punya seorang kenalan baru yang ternyata sama-sama tak punya kendaraan. Bu Abu namanya. Kami pun sering jalan kaki berdua, mengantar dan menjemput Iq dan Ahnaf. Begitulah. Allah Memang Tak Akan pernah membiarkan kita dalam kesulitan sendirian. Dia akan berikan kemudahan, entah berupa kawan untuk mendampingi maupun bantuan lain, yang awalnya kita tak pernah tahu. Terkadang, Bu Abu yang sudah banyak mengenal ibu-ibu di sini, diantar kawannya *yang akhirnya juga menjadi kawanku, he he* untuk menjemput anaknya. Dan aku, boleh nebeng! Alhamdulillah...
Dua minggu kemudian, dah ada bus yang lalu lalang. Maka pekerjaan jemput menjemput pun tak lagi seberat sebelumnya. Tuh kan, Allah berikan bantuanNya lagi, Subhannallah!

Suatu hari, ketika aku terlalu awal menjemput Iq, aku putuskan untuk duduk-duduk di bus stop yang letaknya agak jauh dari Tadika Ihsan. Di depan Padang Kawad, persisnya. Kulihat handphone, dan kudapati masih setengah jam lagi Iq keluar dari kelasnya. Beberapa saat kemudian, sebuah taxi mendekat. Nampak sang sopir adalah lelaki yang boleh dibilang sudah tua, lebih tua dari Bapak bahkan, berpeci putih dan berwajah cukup ramah. Beliau tersenyum dan menyapaku. "Sendirian?" tanyanya. Aku mengangguk, membalas senyumnya. "Awak duduk kat mane?" Aku yang baru tiga minggu di sini, bingung dengan pertanyaan beliau. "Apa?" Rupa-rupanya beliau faham bahwa aku bukan orang Melayu. Lalu beliau pun mencoba berbahasa yang aku mengerti. "Di Kolej Perdana, U8," jawabku. "Awak ikut orang mana? Melayu ker? Chinesse ker?" tanyanya kemudian. Ups! Agak kaget juga mendengar pertanyaan yang baru saja beliau lontarkan. Lalu aku melihat penampilanku. Rok panjang bunga-bunga, kaos lengan panjang warna biru, kerudung kaos dan sandal jepit! He he, pantas. Jika dikira aku sedang mengasuh dan menunggu anak pertama majikanku. Aku tersenyum sebelum menjawab, "Saya ikut suami, Pak." "Suami awak kerje kat mana? Pensyarah?" Beruntung aku sudah diberi tahu Mas, bahwa pensyarah adalah istilah yang sama dengan dosen. "Bukan, suami saya student." "Ooowwh, ambik master ker PhD?" "PhD, Pak. Alhamdulillah," jawabku lagi. Kemudian sang Bapak bercerita bahwa banyak orang Indonesia yang bersekolah di UTM ini. Sedangkan anaknya sekolah kedokteran di UGM, katanya. Subhannallah! Seorang sopir taxi bisa menyekolahkan anaknya di kedokteran Gajah Mada, Subhannallah.
Kulirik jam di handphoneku, lima menit lagi sekolah Iq usai. Aku pun pamit pada pak sopir. Kurapikan gendongan Zaki dan kami pun beranjak dari bus stop, meninggalkan Pak Sopir yang masih menyunggingkan senyum di bibirnya.

Siang itu, kami kembali berjalan pulang karena bus yang ditunggu-tunggu belum juga lewat.

Wednesday, June 16, 2010

Catatan Penjual Kue: II

Selepas perjumpaan membahagiakan itu, bisa diduga, moment-moment berikutnya pun penuh dengan senyuman. Makan siang bersama, dan perjalanan menuju Pudu Raya yang hiruk pikuk, masih dipenuhi dengan senyum. Dalam hatiku hanya ada satu kata syukur kepada Rabb Yang Maha Kuasa, atas perjumpaan indah ini, Alhamdulillah.

***
Setiap aku memasuki sebuah wilayah baru, setiap itu pula bermunculan perasaan yang tidak bisa dituliskan. Sensasinya hanya bisa aku rasakan. Sesuatu yang menakjubkan. Dan sensasi inilah yang membuatku merasa ketagihan dengan petualangan baru, menjelajah bumi Allah, hijrah dari satu tempat ke tempat berikutnya... Subhannallah! Hanya Allah dan aku yang tahu bagaimana rasa itu...

Sepanjang perjalanan menuju Johor, bibirku tak lepas dari senyum. Kekasih hati kini sudah disisi diri, dan kapan pun ia dapat kusentuh. Kulingkarkan lenganku di lengannya... kupandangi wajahnya. Pandangan kami beradu, dan kami saling tersenyum. Rabbana, terimakasih... Alhamdulillah...

Selepas Isya kami baru sampai di Sri Putri. Bernego dengan sopir taxi, kami pun diantar menuju sebuah rumah makan. Mas bilang, kedai ini milik seorang kawan *belakangan aku tahu, itu adalah kedai Pak Sugeng, he he... * dan pekerjanya pun banyak dari Tanah Air. Aku makan bakso, sedang anak-anak hanya minum. Panas! Johor lebih panas dari 3 tahun sebelumnya ketika aku berkunjung ke sini, semasa mas masih mengambil master. Pak Sopir makan, mas makan dan aku pun makan.

Setelah semua kenyang, barulah kami pulang. Menuju UTM pada malam hari, kembali kubuka lembaran2 memori yang sempat tertulis di otak dan hatiku. Kampus ini masih sama. Makin indah malah. tetap bersih seperti sebelumnya. Berputar-putar di jalanan UTM, lantas kami pun sampai di parkir U8. Waahhhhh! Apartemen tempat kami tinggal, insyaAllah. Kudongakkan kepala dan kulihat ujung bangunan dengan mataku yang mulai mengantuk. Kami pun menuju lift dan setelah menekan angka 6, sampai juga di lantai 7, he he... sedikit membingungkan memang, karena lantai 1 dianggap ground...

Kami memasuki ruang 704 di wing B. Subhannallah! luasnya hampir sama dengan rumah kontrakan kami di Cinunuk Indah. Kujelajahi setiap ruangan dengan mengucap salam. Dapur: masih kosong. Hanya ada wastafel dan laci-laci yang juga masih kosong. Gudang, kotor... lantainya pun kotor. Aku masuk ke kamar utama: tempat tidur ukuran Queen, lemari pakaian yang cukup besar serta meja rias lengkap dengan cermin dan kursi empuknya. kamar anak-anak, diisi dengan tempat tidur single, lemari pakaian yang lebih kecil dan jendelanya dilengkap dengan tralis. Mungkin demi keamanan anak-anak. Tapi anak-anak kan masih bobo denganku, jadi... harus dicari pengaman biar mereka jauh dari jendela lebar nan tinggi yang begitu mudah dibuka, dan tentu mengerikan karena langsung terhubung dengan dunia luar dan tanah nun jauh di bawah sana, hiiii...
Aku kembali ke ruang depan. Sebuah ruang tamu lengkap dengan kursi-kursinya... horden dan pintu kaca yang bila dibuka menghubungkan ruangan dengan balcony, tempat kami boleh memandang ke luar... pemandangan lapangan futsal dan barisan pohon sawit di bukit seberangnya. ups! Ada juga meja makan, lengkap dengan 6 kursi kayu.

Aku pun mulai berbenah. Mengeluarkan barang0barang bawaan dan merapikannya: baju dimasukkan ke dalam lemari, panci-panci dijejer di dapur, beras dimasukkan ke dalam wadah... dan begitu seterusnya. Setelah selesai, baru aku membersihkan diri, di kamar mandi. Yaa... ternyata kamar mandi ini cukup modern. Tak ada bak mandi, kecuali yang berwarna merah dan kata Mas baru dibelinya. Di dalamnya ada gayung yang juga merah., *uhmmm... mas suka warna merah ya?* Ada kran air, wastafel dan shower... aku pun mandi... segaaaarrr, setelah perjalanan panjang yang menyisakan keringat dan lengket di badan.

Catatan Penjual Kue: I

Tiga tahun lalu, aku datang ke negeri ini dengan satu tekad: menjadi penjual kue. Niatan kuat itu muncul dari percakapanku bersama Bapak, selama hampir empat bulan kami transit di Malang selepas resignku dari kantor tercinta. Selama itu juga, hampir tiap hari Allah memberiku kesempatan untuk berbincang bersama Bapak, lelaki perkasa yang selalu menginspirasiku. Dalam banyak kesempatan, Bapak meyakinkanku bahwa aku berbakat dalam hal kulinari. "Masakanmu enak, Nduk. Kue-kue buatanmu juga sedap," begitu pujian Bapak yang diam-diam memompa kepercayaan diri dan semangatku. Ditambah dengan sakit hati yang aku rasa ketika anak-anakku tidak bisa membeli snack atau mainan seperti ketika aku bekerja dulu, maka azzam ini makin kuat menghujam di nuraniku.

***
Pagi, menjelang Subuh, 27 Juni 2007.
Kami: aku dan dua putraku bersama Bapak, Ibu, Mami dan Kholis dalam sebuah mobil menuju Bandara Juanda, Surabaya. Degup jantungku menandakan kebahagiaan bercampur kesedihan yang tidak bisa digambarkan, hanya bisa dirasakan. Aku bahagia karena insyaAllah, inilah waktu yang Allah pilihkan setelah sekian lama kami berada dalam penantian, menuju waktu perjumpaan kami dengan si Ayah. Pun aku sedih tiada terkira, karena harus kembali menjauh dari keluarga besar tercinta. Harus kembali mendengarkan suara Bapak dan Ibu tercinta hanya dari telepon. Harus kembali jauh dari dua adikku dan keluarganya yang sudah mulai akrab lagi setelah perpisahan yang demikian panjang. Tapi inilah dunia, fana nyatanya. Tak ada yang abadi didalamnya. Perjumpaan... perpisahan, semua adalah dinamika yang harus kami lalui, tanpa boleh banyak air mata, karena memang tiada berguna. Dan sejak hijrahku ke kota kembang tahun 1999, perjumpaan maupun perpisahan adalah sahabat terbaikku.

Setelah melewati daerah Sidoarjo yang masih bergumul dengan masalah pekatnya lumpur lapindo, kami pun sampai di Juanda. Beberapa saat kemudian, Rikha dan de Ujar serta dua ponakanku yang smart datang menyusul. Aku terharu. Allahku! Begitu indah rasa kasih sayang yang Engkau sematkan dalam hati kami. Bantulah kami meneruskannya kepada anak cucu kami, agar mereka pun dapat merasakan keindahan yang sama, seperti yang kami rasakan, aamiiin...

Beberapa saat menjelang check in.
Aku berpamitan dengan Bapak dan Ibu untuk pergi ke dalam, guna melakukan proses check in. Setelah mengikuti prosedur dengan membayar Fiskal sejumlah 1 juta dan mengisi surat bebas fiskal untuk kedua buah hatiku, aku pun antri dengan rapi, di barisan yang telah ditentukan. Sampai pada giliranku, aku menyerahkan paspor dan surat dari bea cukai. Begitu kagetnya aku karena ternyata adalah masalah dengan tiket pesawatku. Aku yang ke Malaysia tidak membawa calling visa, diwajibkan membeli tiket return *tiket PP Sub-Senai* dengan jangka waktu paling lama dua bulan. Aku ngotot mengatakan bahwa di Johor ada suamiku yang sedang bersekolah, dan aku tidak mungkin pulang cepat. Petugas kembali menjelaskan sedangkan aku semakin ngotot. Namun akhirnya aku harus kalah oleh peraturan yang sudah dibuat. Aku harus membeli tiket balik dari Johor kembali ke Surabaya, sebelum akhir Agustus. Sedihnya... Maka aku pun berlari ke luar. Alhamdulillah, Allah Maha Mengetahui. Di luar ada mas Dede, calon suami Mbak Mal, calon menantu Mami. Belum sempat berkenalan, aku pun bergegas bersama mas Dede menuju bank tempat beliau bekerja untuk menukar uang. Sejumlah uang aku tukar demi mendapatkan rupiah untuk membeli tiket yang dimaksud. Tak lama kami pun berlari menuju loket Air Asia untuk membeli tiket pada pertengahan Agustus. Alhamdulillah, meski penuh kepanikan, akhirnya urusan ini selesai dan aku bisa check in, menjelang loket ditutup. Maka, pamitan kami pun menjadi ala kadarnya. Kupeluk Ibu dan Mami... kucium tangan Bapak dengan ta'zim... kupeluk adikku satu-satu, kujabat tangan iparku, dan kuciumi kedua ponakanku dengan linangan air mata. Satu pesan Bapak yang harus aku ingat dan aku sampaikan kepada suami dan anak-anakku: jaga sholat kita! InsyaAllah, Pak!

Setengah berlari aku, dengan membawa tas, menggendong Zaki dan masih menenteng baby bag, masuk kembali ke dalam ruangan bandara. Diantar mas Dede kami pun naik ke atas. Setelah membayar airport tax, mas Dede membantu mengisi form imigrasi, dan mengantar aku duduk di ruang tunggu. Kini yang kurasakan hanya bahagia. InsyaAllah, kami akan berjumpa dengan si Ayah...
Setelah melalui beberapa prosedur berikutnya, kami pun kini sudah berada di pesawat. Kuhela nafas panjang-panjang. Alhamdulillah, kami sampai di titik ini, Rabb..

***
Perjumpaan dengan kekasih hati selalu menyisakan kebahagiaan tak berujung.
Pun perjumpaan kami dengan si ayah. Sementara aku masih sibuk mencari tas dan barang2 di bagasi, Mas melambaikan tangannya kepada kami. Iq nampak malu dan kebingungan, begitulah ia selalu. Ia pun berlari menuju sang ayah. Setelah aku mendapatkan semua barang dan melalui imigrasi serta bagage check, aku pun bergegas menuju mereka. Kami berpelukan. Damainya saat itu... Sementara Zaki bengong, mungkin ia bingung, siapa lelaki yang begitu merasa akrab dengannya itu, he he...

Turkey

Alhamdulillah... rasanya tidak berhenti kebahagiaan di hati ini melihat senyumnya. Rencana kepergiannya ke Turki untuk menghadiri sebuah konferensi internasional membuatnya lebih bersemangat akhir-akhir ini. Dan aku, istrinya, begitu bangga dengan perjuangannya yang tiada henti, hingga papernya diterima di konferensi bergengsi tersebut. Alhamdulillah, Ya Rabb... insyaAllah inilah jalan yang telah Engkau pilihkan buatnya, kekasih hatiku. Setelah sebelumnya ia bekerja tiada lelah menyelesaikan paper plus pekerjaannya sebagai student, juga setelah doa-doa panjang kami.

Selama ini, aku selalu berdoa agar suamiku mendapatkan jalan terbaik sehubungan dengan hal ini. Jika Allah anggap ke Turki adalah yang terbaik buatnya, semoga dimudahkan... sebaliknya, jika ini bukan jalan terbaik untuknya, semoga diberikan ganti yang lebih baik. Dan Alhamdulillah... semuanya lancar.

Mulai pembuatan paper, pengurusan visa hingga pembelian tiket. Semoga berikutnya, perjalanan mas dan Prof juga akan dimudahkan, digangsarkan... dinyamankan. Lantas, proses konferensinya juga dimudahkan dan diberikan kesuksesan... hingga dapat pulang kembali ke pelukan kami dalam keadaan selamat, sehat dan bahagia, aamiiin ya Rabb...

Makasih Ya Allah...
semoga pengalaman baru ini, dapat meningkatkan kepercayaan diri suamiku... dapat menambah ilmu, pengalaman dan wawasannya, demi kemajuan agamaMu, aamiiin...

*Mas, U make me proud... as always! sukses ya Sayang, doa kami di nadimu! :)

Saturday, June 12, 2010

I'll always step behind U, Hun!

Siang yang panas. Kami berdua sedang di dapur. Masing-masing dengan handuk di pundak, saling mengklaim untuk mandi lebih dulu. Si Mas beralasan hendak ke makmal sedangkan aku harus mengambil lauk di kawan. Tiba-tiba aku ingat bahwa tadi pagi ada sms masuk dari seseorang yang kuyakini adalah pimpinan mas di tempat kerjanya di Indonesia.

Tak lama aku dengar mas melakukan percakapan dengan sang mantan pimpinan *mantan karena sekarang tidak lagi menjabat*. Lalu kami pun berbincang sesudahnya. Tentang isi percakapan, tentang situasi dan kondisi di kantornya, tentang semua... sampai akhirnya, keluarlah perkataan yang begitu menyakitkan hatiku. Aku baru tahu kalau selama ini suamiku menyimpan sakit hati yang begitu dalam. Aku sendiri tak berani menyebut kata-kata seorang pimpinan sebuah perguruan tinggi berbasis Islam itu di sini *saking tak sopannya*. Lalu aku pun menelisik, bagaimana reaksi kekasihku itu ketika ia pertama kali mendengar bahasa tak pantas itu. Ternyata ia begitu menurut dengan sang mantan pimpinan, untuk berdiam diri saja, apapun yang akan dihadapi.

Astaghfirullah... aku sendiri tak bisa menjamin agar dapat terus menahan bicara ketika harus menghadapi situasi yang sama. Astaghfirullah... Rabb, Engkau adalah Dzat Yang Maha Melihat, Maha Mengetahui... Engkau Paling Memahami. Hati suamiku sakit Tuhan... Hamba pun ikut merasa kehancurannya. KepadaMu lah kami serahkan permasalahan ini Rabb... Jika kami berniat membalas dengan perbuatan buruk serupa, niscaya kami akan dapatkan dosa. Sebaliknya, jika kami harus melupakan rasa sakit hati ini, kami belum lagi mampu. Maka, kami serahkan, balasan terbaik untuk orang yang bermulut pedas dan berhati keras... yang sudah melukai hati suamiku demikian rupa, juga telah menabur permusuhan dengan banyak orang di kantornya. Engkau sebaik-baik penjaga Tuhan... jagalah kami dari kedzalimannya, aamiiin...

*Sayang...
mungkin inilah hikmah dari kegagalanmu mendapatkan beasiswa dari negara kita. Bahwa Allah ingin menunjukkan, bahwa keberadaanmu di sini bukanlah untuk bersenang2 seperti yang orang itu sebutkan. Dan, ia, tak boleh menuntut terlalu banyak padamu, karena mereka tak berbuat apa-apa... tak memberikan kontribusi apapun terhadap prosesmu melanjutkan pendidikan ini.
Maka sayangku, ambillah langkah terbaik menurutmu untuk karirmu, juga bagi kita dan keluarga kita... InsyaAllah, aku akan selalu memberikan support terbaikmu buatmu, Mas...
terus berjuang ya... terus semangat. Cinta dan doa kami ada di nadimu... luv U Hun!

Friday, June 11, 2010

Zaki: Terima kasih atas Perubahanmu Nak

Zaki, yang sejak 7 bulan praktis tinggal bersama mama *just mama & Abang* tumbuh membesar tanpa banyak merasakan sentuhan ayah. Perpisahan sementara yang memang harus kami jalani, membuat keluarga kami kesulitan untuk hidup bersama. Zaki, bersama mama yang sudah resign dari kantornya, lebih sering tinggal di rumah. Berbeda dengan si abang yang sejak 2 bulan sudah berkelana tiap hari keluar rumah, ngikut mama kerja di kantor, Zaki selalu ada di rumah. Begitu seterusnya, sampai ketika kami bertiga ditakdirkan Allah untuk menyusul ayah di Johor ini, Zaki senantiasa bersama mama. Ayah yang meski dekat di mata, nyatanya juga masih belum bisa sepenuhnya dekat di hati karena kesibukan beliau. Setiap detik dilalui Zaki bersama mama. Abang pun mulai sibuk sekolah.

Maka, ke mana mama pergi, ke situ pula Zaki turut.

Kehidupan mama di sini jauh berbeda dengan mama di Bandung. Jika di Bandung mama adalah seorang wanita bekerja, seorang asisten direktur yang harus supel berhubungan dengan siapa saja, perempuan bahkan lelaki, di Johor komunitas mama adalah ibu-ibu dan mbak2 student. Alhamdulillah... semuanya memang patut disyukuri karena insyaAllah hijrah ini menuju kebaikan. Tapi ternyata, ini membawa perkembangan berbeda antara Iq dan Zaki.
Iq yang juga tak jarang diajak mama ke kantor jika sang pengasuh berhalangan datang, tumbuh menjadi anak yang supel. Ia ceria. Sering bercerita. Tak takut dengan siapa pun termasuk orang yang baru dikenalnya. Dunia baru adalah sebuah hal yang menakjubkan baginya. Namun Zaki, dengan latar belakang kehidupan baru mama, ia tumbuh menjadi anak yang sedih kurang percaya diri. Ia selalu berlindung pada mama. Tak suka dengan lingkungan baru. Ia, selalu ingin pulang jika mama berada di rumah tetangga atau kenalan. Zaki lebih nyaman di rumah saja. Bermain sendiri atau hanya berkawan abang. Ia pun agak egois. Ia tidak suka berbagi mainan atau makanan dengan kawannya, seperti yang dulu abangnya lakukan. Ia menarik diri dari permainan kawan2 sebayanya. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ia takut dengan laki-laki!!!

Mama sedih dengan perkembangannya. Mama sangat prihatin dengan kebiasaannya memukul kawan yang meminjam mainannya atau meminta makanannya. Dan mama tidak mau ia terus-terusan menjadi penakut. Maka mama pun beberapa kali meminta ayah untuk mengajaknya bergaul dengan para bapak, kawan si ayah.

Begitulah. Pada beberapa kesempatan, ayah ajak putra keduanya itu ke komunitas bapak-bapak. Apa yang terjadi? Zaki murung di tempat itu. Ia takut. Ia cemas. Ia sama sekali tidak nyaman dan selalu merengek minta pulang. Kalau ayahnya bilang urusan belum selesai, maka ia akan diam begitu rupa dengan ketakutan yang sangat. Ya Allah... Bantulah kami untuk membantu Zaki menjadi anak yang ceria... yang supel, yang bisa berbagi, yang tidak suka memukul kawannya.

Beberapa bulan kemudian.
Zaki lebih suka memukul abangnya. Tak jarang abang menangis saking sakitnya. Abang pun seringkali dilempar. Ya Allah, jagalah tangan Zaki dari memukul dan melukai abang dan kawan2nya, pinta mama dalam setiap doa. Zaki yang kurus tinggi ternyata garang. Mama makin sedih.

Sampai akhirnya, Zaki masuk usia 4th. Di Johor, anak seusianya ia boleh masuk TPA. Lalu mama dan ayah sepakat untuk memasukkan Zaki ke TPA. Hari pertama, kedua, ketiga, ia menanagis... *baca Hari Pertama Zaki ke Sekolah*, Alhamdulillah... sesudah itu, ia tak lagi menangis. Meski begitu, mama belum bisa berbangga hati karena Zaki seperti ketakutan di sekolah. Ia merasa tidak nyaman. Ia tak berani bermain seperti kawan-kawannya karena takut Cikgu marah dan takut dirotan. Ia selalu berwajah tegang ketika mama menjemputnya.

Subhannallah...
Alhamdulillah...
Allahu Akbar!

Kini Zaki berubah hampir 180 derajat.
Ia tak lagi pelit dengan kawan, ia bisa berbagi mainan dan tak lagi suka memukul.
Ia bisa bermain bersama abang + kawan-kawannya yang begitu banyak tanpa kesulitan beradaptasi.
Ia juga nyaman ketika mama ajak ke tempat kenalan yang kebetulan ketempatan ta'lim ibu2.
Zaki sekarang adalah sosok yang ceria, meski kadang sifat garangnya masih keluar juga *mama harus terus ngingetin*
Zaki juga tak lagi penakut, malah ia lebih berani dari si abang.
Ia sudah berani ditinggal mama untuk antar kue dengan catatan ia melakukan aktivitas yang lebih menarik hatinya.
Zaki pun tak lagi takut bapak-bapak. kemarin ada pengajian bapak2 di rumah, ia berani menunjukkan kepandaiannya menggambar *two tumbs up!* dan mempromosikan es buatan mama: enak, katanya kepada Ust. Wahid, he he he...

Dan yang lebih mengharukan, Zaki sekarang dah pinter baca Iqro. Tiap hari ia selalau belajar... sekarang dah sampe da... Alhamdulillah Rabb, Engkau balikkan sifat anakku menjadi sedemikian bagus sekarang.

Semoga kelak, Zaki dan Abang Iq bisa menjadi orang yang shaleh, yang sehat, cerdas, sukses dunia akhirat, aamiiin...

Wednesday, June 9, 2010

Latihan Vokal

Punya anak umur 8 dan menjelang 4 tahun rupanya memerlukan keterampilan khusus. Kemampuan bersabar harus ditingkatkan. Jika tidak, tiap hari harus berlelah-lelah untuk latihan vokal. Yups! Teriak sana teriak sini, sampe kering tenggorokan. Mending hasilnya jadi pinter nyanyi, yang ada suara habis, kepala pusing dan hati panas. Maka, untuk menghindarinya, satu-satunya cara adalah bersabar dan memahami mereka.

Umur 8 tahun, si abang menjadi sosok yang berbeda dengan sebelumnya. Ia tidak mau mengalah dengan adiknya *mungkin karena seringkali menjadi pihak yang dikalahkan??? who knows?* sementara si 4 tahun tak mau kalah. Dua sifat yang tak akan pernah bertemu dalam satu kesepakatan. Maka, jika sebelumnya sang mama harus berlatih vokal tiap hari, belakangan mama merasa itu tak lagi perlu. Jika mereka mulai 'beradu' yang mama lakukan adalah mendatangi mereka, memandangi satu-satu dan dengan suara pelan berkata, "Nanti kalau dilanjutkan bisa berbahaya. Adik yang celaka atau Abang, dua-duanya anak mama, dan yang sedih adalah mama. Adik Abang ngga mau mama sedih bukan?"

Cara ini ternyata lebih efektif daripada teriakan dan bentakan, apalagi dilanjutkan dengan cubitan yang kemudian malah akan meninggalkan penyesalan mendalam di hati mama.

Ah Rabb...
bantulah hamba untuk melipatgandakan kesabaran di hati hamba,

pinta sang mama kepada Rabbnya...
Mama tahu, Allah adalah pemilik dua jundinya. Allah paling tahu, bagaimana cara melunakkan hati para putra tercinta... dan menumbuhkan sifat kasih sayang kepada saudara di hati mereka, insyaAllah, aamiiin...

luv U kids... 'bisik sang mama'

Monday, June 7, 2010

Lelaki Itu

Bus Pahala Kencana: Malang-Bandung

Siang yang sibuk di terminal Arjosari. Sepekan setelah lebaran adalah waktu yang banyak dipilih orang untuk kembali ke aktivitasnya. Kembali ke tanah rantau, mencari nafkah, menggali pengalaman. Hari itu juga dipilih oleh seorang gadis berkerudung. Diantar oleh Bapak, Ibu, adik-adik serta beberapa saudara, sang gadis duduk di bangku tengah bus. Sisi jendela adalah tempat favoritnya, karena posisi itu memungkinkan ia untuk dapat melambaikan tangan ke arah orang-orang tercinta. Wanita 24 tahun itu sibuk menata hati. Begitulah, setiap kali ia harus berangkat ke propinsi lain, ia akan selalu menangis. Sebelum merantau, ia adalah anak mama. Yang sama sekali tidak pernah bepergian sendiri tanpa kawalan sang Bapak tersayang. Maka tak heran jika perpisahan dengan anggota keluarga adalah saat-saat yang amat berat buatnya. MEski sudah beberapa kali ia pulang pergi Malang-Bandung, tempat ia merantau, tapi tetap, air matanya akan luruh begitu bus beranjak dari parkirnya. Pun saat itu. Lima menit menjelang bus meninggalkan Malaang, Bapak naik ke atas bus. Memberikan doa dan nasehat terbaiknya untuk sang putri, lantas sang gadis pun mencium tangan Bapaknya dengan ta'zim. Lima menit berikutnya, lambaian tangan dan derasnya air mata menghiasi perpisahan sementara itu. Doa-doa untuk orang-orang tersayang ia lantunkan dalam hati. Ia bermohon pada Tuhannya agar dapat kembali berjumpa dengan mereka. Dan kenangan manis pun tersaji dengan indahnya di pelupuk mata.

Tiba-tiba sebuah sapaan membuyarkan lamunannya.
"De, turun mana?"
Setelah menyeka air mata, perempuan itu pun menoleh ke arah suara yang dimaksud.
"Jatinangor," jawabnya singkat.
"Ehm... masih kuliah ya? Di mana?" pemuda itu kembali bertanya.
"Dah kerja." Ups, bukan judes, tapi ia ia memang sedang tak ingin diganggu.
"Kerja di mana?"

Uuuhhh! Sebel, nanya mulu, bisik gadis dalam hatinya. Setengah berbisik gadis menyebutkan NGO tempat ia bekerja.
Pemuda itu terus saja bertanya... dan gadis pun ketus menjawab. Sampai akhirnya, hati gadis tak tega dengan kebaikan sang pemuda lalu ia pun berbasa-basi, "Mas kerja di mana?"

Lelaki itu menjawab tempat bekerjanya. Sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang satu-satunya di Tanah Air. Mata sang gadis berbinar. Ia ingin sekali mendapat cerita tentang proses pembuatan pesawat terbang dan seluk beluk pekerjaan sang pemuda. Maka serasa mendapat angin, sang pemuda pun semangat bercerita. Terus... terus... dan terus... sampai akhirnya sang gadis tertidur karena lelah. Bagai dininabobokan... *to be continued*

Sunday, June 6, 2010

Sambel Tempe

Tunggu! Ini bukan tentang cara membuat sambel tempe yaa... tapi tentang cerita pagi kemarin. Hari Ahad adalah hari wajib kembali tidur setelah shalat subuh, he he... *ups, jangan ditiru yaa...*. Bangun kesiangan karena perut lapar, itu adalah cerita berikutnya. Maka, langkah kami berdua mantab *pake b, saking mantepnya, hihi* menuju dapur. Sementara langkahku tertahan depan kulkas, tangan mas cekatan menyalakan kompor. Mengambil tempe dari kulkas, memotongnya... dan hampir saja dimasukkan ke minyak. "Eits, tunggu! Dikasih bumbu dulu, Ayah... Sini, aku buatin," cergahku sembari mengambil mangkuk. Kuisi sedikit air, ditambah garam satu setengah sendok teh, plus bawang putih keprek sebiji. Mas memasukkan tempe ke dalam bumbu dan melemparkannya ke dalam minyak! "Waaaaahhhhhh, siniiiii" kataku lagi. Aku pun mulai bertugas menggoreng tempe.

Mas tak tinggal diam. Dia mengambil cobek + ulekannya, mengambil satu siung bawang putih dan dua butir cabe rawit kemudian memasukkannya ke dalam minyak tempat tempe digoreng.
Sebentar kemudian, tangannya dah sibuk mengulek sambal dan memenyet tempe dengan sambalnya. Lalu tanpa basa-basi, kami pun makan bareng.

Hmmmm... menu sederhanaaaaaaaaaaaaaa, tapi dalem kesan. andaiiiiii tiap pagi begini, senengnyaaa...

Tapi hidup tak selamanya bisa bersantai. Yang seringkali kami temui adalah kesibukan. Dia dengan sekolahnya... tugas-tugasnya: paper, jurnal, thesis... dan aku, dengan dapur, pesanan kue, anak-anak...

Rabb, bantulah kami menjadi hambaMu yang shaleh shalehah... dan masukkan kami ke dalam Syurga IndahMu... agar kami bisa menikmati masa-masa santai kami di sana, nanti... aamiiin.

*semangaaatttt: ibadah... ibadah! semua niatkan untuk ibadah, dan semoga dikumpulkan di jannahNya, aamiiin ya Rabb*

Tuesday, May 25, 2010

Suara Merdu Sahabatku

Baca komen di wall kawan, jadi inget. Bahwa selama ini, aku selalu dekat dengan seorang kawan yang bersuara merdu. Dulu, jaman masih kuliah di UM, Almh Yani adalah seseorang yang selalu kutunggu kalau ia menyanyi. Setiap ia naik panggung dan melantunkan sebuah lagu, maka pandanganku tak akan lepas dari dia. Merinding sekaligus bangga punya kawan dengan suara semerdu dia. Lagu Run to You-nya Whitney adalah kesukaanku. Maka, hingga saat ini, aku masih mengingat moment itu.

Nah, pas kerja di Bandung, aku pun punya mbak Ola. Sempat menjadi manajerku di Marketing, I really loooooooooove her voice. Lagu apa pun, jika mbak Ola yang bawain, aku pasti lihat dia terus. Ngga pernah bosen. Samasekali. Sekarang pun, aku masih inget gimana suaranya yang bening itu. Lagi pun dia sukaaaaa banget ngajakin nyanyi. Lagu yang sering dan aku suka ia nyanyikan adalah If.

Sekaraaaaannnngggg, aku tinggal di Johor.
hayoooooooooooooo, siapa kawan berikutnya yang mau aku inget2 suara merdunyaa... Silahkan, silahkan. menyanyi saudaraku. aku akan inget suara merdu anda selamanyaaaa... ^__^

Sunday, May 23, 2010

Panggilan Adik untuk kamiiiii...

Hmmm... adik memang terkenal dengan plesetannya. Dari kecil, hampir semua kata dia plesetkan. Lagu-lagu dia ganti kalimatnya. Nah, yang etrbaru niiiih...
ini dia panggilan adik untuk kami dan dia sendiri:

Mama: Ibu
Ayah: Bapak
Abang: Ama
Adik: Amek???? ha ha ha...

Jadi pengen nyubit deh!

Kiriman Allah untuk Abang

Siang itu, seperti biasa, mama antar adik ke sekolahnya. Abang yang kebetulan libur usai ujian sekolah agama, enggan ikut dan memilih untuk tinggal di rumah seperti hari-hari sebelumnya. Namun karena mama punya sebuah rencana khusus untuk Abang, maka mama pun memaksa Abang untuk ikut dengan alasan nemenin mama.

Berat hati, Abang pun ikut. Setelah adik sampai di sekolah, ama tidak mengambil jalan pulang. Abang pun bertanya, "Mau ke mana, Ma?" Mama bilang mau ke kak Ida untuk memgambil uang kue dan wadah.
Sepanjang jalan, percakapan Abang dan mama biasa saja. Baru setelah uang dan wadah bekas kue diambil dari kak Ida dan mama tak juga mengambil jalan pulang, Abang kembali bertanya.
"Kita mau ke mana, Ma?"
"Hmmm... Mama mau ajak Abang ke seseorang yang bisa memberikan nasehat untuk Abang. Karena, akhir-akhir ini, Abang sering bertingkah yang kurang baik. Nasehat mama untuk belajar diabaikan. Abang sering buat adik sakit dengan cubitan dan perilaku kasar Abang. Mama sedih karena Abang tak lagi mau mendengar nasehat mama, maka, sore ini, mama mau ajak Abang ke seseorang yang bisa menyadarkan Abang supaya menjadi anak manis seperti dulu lagi." mama menjawab panjang lebar.

Tangis Abang pun pecah. Teriak-teriak bahkan mengancam untuk turun dari mobil yang berjalan. Abang bergelagat untuk membuka pintu. Mama pun tak kalah cerdik, membiarkan Abang dengan sikapnya dan mengatakan bahwa itu bukan tindakan yang baik.
Abang tetap duduk di tempat sambil nangis. Mobil melaj ke jusco. Abang sedikit tertawa, mungkin ia berpikir, mama cuma bercanda. Setelah mobil terparkir, mama pun merangkul Abang dan mengajaknya masuk ke arena food court. Hmmm... Abang ternyata diajak makan. Langsung deh ketawa.

Nasi ayam di tangan, Abang mulai makan. Nah, selama makan itulah mama mulai memberikan nasehatnya. Mengajarkan kepada Abang untuk lemah lembut kepada adik, untuk sayang pada adik, untuk belajar rajin-rajin supaya tidak menyesal jika dapat nilai jelek, untuk ebrlaku baik, rajin sholat, mengaji, dsb.
Di tengah-tengah makan itulah datang seroang Mak Cik. Petugas cleaning service di Arena tersebut datang kepada Abang. Lalu, "Abang suka makan ayam ker? Sedap ya? Abang harus ebrlajar rajin-rajin supaya tak amcam Mak Cik angkat-angkat pinggan bekas orang makan, penat, susah. Kalau Abang rajin belajar, Abang boleh jadi orang kaya, naik mobil cantik, duduk di rumah cantik, punya banyak uang. Abang hidupnya senang, tak macam Mak Cik. Tengok, Ibu berikan Abang makan elok-elok... kasih ayam untuk Abang makan, ajak Abang shopping. Jaman Mak Cik kecil dulu mana ada macam begini. Abang harus bersyukur dan belajar rajin-rajin, ok?"

Mama melihat raut muka Abang yagn masih asyik makan ayam bakar madu sembari sebentar-bentar mengamati wajah mak Cik. Mama tersenyum.

***
Dalam perjalanan menuju lantai dua, Abanag bilang, "Maa... Mak Cik tadi ya yang mama maksud mau dipertemukan dengan Iq?"
Ups, baru mama nyadar dengan rencana di awal keberangkatan menuju jusco. dan mama pun mengangguk sambil tersenyum.

Subhannallah, Alhamdulillah... Allah mengirimkan orang yang tepat untuk membantu mama hari ini. Semoga, hari ini akan terus dikenang sepanjang perjalanan hidup sang putra, aamiiin...

To Abang, jadi anak shaleh ya Nak... mama love U much.

Sunday, May 16, 2010

Begitu Cepat Allah Berikan Obat

Alhamdulillah... Tiada Puji Syukur kecuali hanya teruntuk Allah Yang Maha Pemurah. Setelah beberapa hari kepikiran *sebelumnya tidak pernah ada kasus dalam hidupku yang membuatku sampai kepikiran lebih dari satu hari*, akhirnya, semalam, Allah berikan kesembuhan.

Selama ini aku selalu merasa baik-baik saja dengan semua orang yang pernah aku kenal. Bahwa dalam perjalananku aku pernah tidak dsefaham dengan kawan, berselisih bahkan beradu pendapat, tapi semua berakhir baik. Aku yakin, komunikasi yang efektif antara aku dengan mereka adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan semua persoalan.
Maka, aku berniat untuk menyelesaikan urusanku dengan si fulanah yang ada di artikel sebelumnya. Namun sebelumnya, untuk meyakinkan hatiku, aku meminta pendapat seorang sahabat. Dan, apa yang aku dapatkan berbeda dengan rencanaku. Ia tidak menganjurkan aku melakukan tindakan ini. Ia bahkan memintaku bersabar, ikhlas dengan keadaan ini. Dan setelah berbincang panjang lebar, kini kudapat sebuah kesimpulan baru.

Sahabat terbaik senantiasa hadir dalam sedih maupun bahagia. Ia, tidak memprovokasi. Tidak selalu membenarkan tindakan dan sikap kita. Tidak pula selalu memuji. Sahabat terbaik adalah yang bisa mengisi celah kurang kita dengan kelebihannya. Tutur katanya bijak, mempengaruhi pola pikir kita untuk berbuat yang terbaik menurutNya. Ia harus mau mengoreksi tindakan kita jika kita berada di jalur yang salah. Ia pun boleh mengkritik kita.

Semalam, aku mendapatkannya. Satu barisan kalimat yang membuat hatiku tenang.
Bahwa setiap kejadian yang menimpa kita adalah atas kehendakNya. Allah sedang menguji kami untuk dapat melewati masa sulit ini, mengajarkan kami nilai ikhlas yang lebih dari sebelumnya. Allah sedang memberikan pelajaran sabar di tingkat selanjutnya. Jika kami dapat melewatinya dengan baik, insyaAllah, hadiahNya adalah yang terbaik untuk kita.

Sekarang hatiku tenang.
Aku memang tidak boleh dan tidak bisa memaksa orang lain untuk terus menyukaiku. Maka insyaAllah aku ikhlas, jika ada orang yang tidak senang denganku. Bahkan kalau ia marah dan membenciku. Yang penting bagiku, Rabbku menyayangiku dan tidak marah denganku.

Jika pun ada kawan yang merasa ada ganjalan, seperti pada kasusku ini, biarlah itu jadi urusannya, bukan urusanku. Karena sekali lagi, aku tidak bisa berperilaku sebaik yang diinginkan semua orang. Yang penting, aku sudah meminta maaf padanya dan lisannya pun sudah memaafkanku. Ini cukup buatku.

Allahku,
Aku sadar bahwa begitu banyak kesalahan dan kekurangan yang ada padaku. Satu pintaku. Bantulah aku untuk selalu bisa menyadarinya. Bantulah lisan dan hati ini agar ringan beristighfar, memohon ampunanMu. Juga agar mudah mengucap maaf pada kawan yang sudah merasa terdzalimi. Tolonglah hamba agar senantiasa bisa membersihkan hati, dari amarah, dari dengki dan iri hati. Dan jauhkan aku dari dendam. Aku tidak mau, menjadi salah satu jalan syaitan untuk merusak ummat Rabb...
Kabulkan permohonanku, yaa Gusti Allah... aamiiin.

Menghalau Sakit

Siang itu, aku niatkan untuk menyelesaikan baju-baju yang seminggu belum diseterika. Sembari menonton tivi untuk menghilangkan penat, tanganku sibuk menyeterika baju demi baju. Tiba-tiba dering telepon mengagetkanku. Kumatikan seterika dan kuangkat telepon. Suara seorang kawan. Sepertinya beliau sedikit emosi. Hmmm... kucari muara masalah yang diutarakannya. Kucerna dengan baik sebelum akhirnya memastikan asal kabar yang ia terima. Yup! Yakin sudah siapa yang 'memprovokasi' sahabatku. Maka, kuurai akar permasalahan dan Alhamdulillah... meski sempat down karena dituduh melakukan sesuatu yang tidak aku kerjakan hingga akhirnya aku menangis, tapi masalah ini berakhir baik. Semua clear. Dan kami tahu, apa yang salah di balik masalah ini.

Satu pelajaran yang aku petik. Bahwa ilmu memang diperlukan dalam setiap segi kehidupan kita. Ketika kita tidak berilmu, lalu mempengaruhi orang lain yang juga tidak memiliki ilmu yang sama, lantas menuduh orang lain melakukan sesuatu yang kita curigakan... Astaghfirullah, hasilnya adalah fitnah. Dan fitnah kejam itu pula yang sempat mampir dalam episodeku setelah sekian lama hidup tenang tanpa tendensi kepentingan apa pun.

Shock pasti. Karena fitnah itu datang dari orang yang sebelumnya aku kenal baik dan insyaAllah mengenalku dengan baik. Dia menusukku dari belakang. Mempengaruhi sahabat baikku hingga berhasil memprovokasinya. Yang lebih parah, ketika semua sudah clear, sang penebar berita palsu mencoba mengklarifikasi, dengan perkataan berbeda... dengan banyak bumbu, hingga akhirnya, nampak seperti sahabatkulah yang bersalah. Astaghfirullah...
Maka, ketika kami konfrontir, semakin nampak, di mana letak kesalahan dari permasalahan ini. Dan Alhamdulillah, saat itu, kami bertiga merasa semua sudah usai. Masalah sudah beres. Semua saling memaafkan.

Tapi, beberapa hari kemudian, sang pembawa berita kembali mengusik hariku. Merasa disudutkan ketika kami konfrontir dan tidak terima dengan perkataanku, ia mengatakan, hampir-hampir tidak mau melihat wajahku. Saking marahnya ia. Astghfirullah... Lalu, yang kemarin saling memaafkan itu apa ya Bu? Yang merasa masalah sudah selesai siapa ya? Coba deh, dirunut kembali permasalahan ini, siapa coba yang memulai? Siapa yang seharusnya marah? Siapa yang menyulut api dalam masalah ini? Bahkan mempengaruhi orang lain dengan begitu semangatnya? MasyaAllah...

Maka yang terjadi padaku kini, awalnya adalah amarah. Aku marah. Aku bingung. Aku kesal. Dan aku sangat tahu semua rasa ini aku tujukan kepada siapa.

Ketika kuceritakan masalah ini kepada suami, satu nasehatnya, "Sabar Ma. Kan semua sudah tahu kualitasnya seperti apa. Mama tetaplah baik kepada beliau. Jangan pernah putuskan silaturahmi. Doakan orang itu agar cepat sadar dengan kesalahannya."
Saat itu, jawabanku adalah, "Aku bukan orang yang bisa berbasa basi Yah, dan aku tidak bisa mendoakan orang yang sudah mendzalimi aku sedemikian rupa." Suamiku hanya tersenyum.

Tapi sore ini, Rabb...
Aku ingin, semua rasa amarah, kesal, sebel, benciiiiii itu hilang dari hatiku. Bantulah aku menghapusnya Tuhan Yang Maha Suci. Engkau Maha Tahu siapa benar dan siapa salah. Dan aku berharap agar aku tidak mengikuti jejak orang yang sudah mendzalimiku. Bersihkanlah hatiku dari sifat-sifat buruk. Lapangkan jiwaku untuk menerima setiap kesalahan orang dan mudahkan aku untuk memaafkannya. Jadikan jiwaku sebagai jiwa yang ikhlas. Aku bermohon dengan kesungguhan, Ya Allah. Aku tidak mau, hatiku terus menerus tergerus oleh rasa yang dihembuskan syaitan. Jika pun orang itu tidak mau berjumpa denganku, maka, hindarkan aku darinya dan hindarkan ia dariku. Agar tidak semakin bertambah dosanya dan dosaku. Ampunilah aku Gusti Allah... jadikan aku semakin arif setelah menerima episode ini... aamiiin.

Tuesday, April 13, 2010

Cinta dan Perut Rata

Malam telah larut. Sebuah usapan di kening mengusik tidur nyenyakku. Rupa-rupanya, dia. Kantuk yang meraja membuat aku malas membuka mata. Kubalikkan badan ke arah sebaliknya, dan kembali kupejamkan mata. Suaranya pelan berbisik, "Pindah, Sayang..."
Hmmm... masih dengan malas, aku bangun. Membawa bantal dan berjalan sempoyongan, kuayunkan langkah menuju kamar sebelah.

Kupandangi sekejab anak-anak yang sudah pulas dalam tidurnya. Malam ini, mereka agak susah tidur. Masing-masing sibuk cerita dan bertanya ini itu, sampai akhirnya lelap satu-satu.

Suamiku. Rupanya ia baru pulang dari makmal (baca: laboratorium). Harum mulutnya menandakan ia baru saja membersihkan diri, sebelum akhirnya membangunkanku dan mengajakku untuk pindah ke kamar kami. Tak mau membuang masa, aku jatuhkan diri ke tempat tidur. Brukkk! Masih mengantuk... Dia mengambil tempat disampingku. Ceritanya pun mulai mengalir. Tentang berita terkini di Indonesiaku tercinta... tentang makmalya, tentang thesisnya... papernya...! Aku yang masih saja susah membuang berat mata, tak berminat untuk menimpali kisah-kisah, apalagi menjawab pertanyaannya. Sebenarnya ini bukan sifat dasarku yang sangat suka bercerita. Mas terus bertutur. Menanyakan tingkah si abang dan adiknya seharian, aku jawab, "esok mama cerita...". Judes!
Uuhhh, padahal, saat2 seperti ini sudah jarang kami temui sejak Mas mulai menulis thesisnya. Jika dulu setiap hari kami mengobrol sebelum tidur, semester ini tak lagi. Seminggu tiga kali sudah sangat bagus. Sayangnya, mataku tak bisa berkompromi. Tetap saja ingin terpejam. Duh!

Sampai kemudian, bisikannya membuat beban mataku menguap tiba-tiba.

"Sayang, ayah pulang lebih awal malam ini. Sengaja. Ayah kangen istri ayah. Ma, denger baik-baik ya... ayah tetap akan sayang mama. Tidak peduli dengan berat badan mama. Tidak terpengaruh oleh lemak-lemak yang tertimbun di perut mama. Jadi mama ga usah khawatir. Ga usah cari artikel untuk mengecilkan perut segala, Sayang..."

Deg! lah! Kok si Mas bisa tahu? duuuuh... kemarin browsing artikel mengecilkan perut ga ditutup dulu langsung ditinggal tidur deh kayaknya. Malu, akhirnya aku pura2 masih tertidur. Si Mas menggenggam jemariku. Mataku masih kupejamkan, meski sekarang sama sekali tidak mengantuk.

"Dengar, Sayang... mulai sekarang, ngga usah lagi cari artikel kayak gitu ya... Jangan khawatir dengan cinta ayah, Ma..."

"Hmmm... iya gitu? Habis, ayah suka bilang aku endut..." aku merajuk.

"Ya Allah, Ma... itu kan bercanda. Habis ayah suka lihat mama cemberut... merajuk. lucu sih... iya deh, lain kali ayah ga akan ngomongin lagi soal itu, ok?"

"He-eh!" kujawab singkat.

Ohhh... padahal, perempuan mana yang tidak ingin perutnya rata? Aku pun ingin. Meski dia, suamiku tersayang tidak mempermasalahkannya... aku akan terus berusaha untuk membuat perutku kembali rata. Bukan semata2 untuk penampilan, tapi demi kesehatan. Dan ini, juga demi kamu, suamiku sayang...

*semoga Allah selalu menjaga cinta kita, hingga tepian hakiki, aamiiin... ^__^

Friday, April 9, 2010

Maret Ceria

Maret! Bulan penuh memory bagi ar dan mas. Setiap tanggal 9 di bulan ini, kami memperingati hari di mana malaikat bersaksi akan diucapkannya janji setia si mas padaku *duuuh, susah mo bilang akad nikah, hihi* Alhamdulillah. di tahun ini, usianya sudah 9 th. wah-wah... dari 9th, berapa yang efektif bisa kami gunakan bersama yaaa... he he.
Alhamdulillah, sekarang, waktu kebersamaan itu jauuuuuuh lebih buanyakkkk dibandingkan dengan tiga tahun lalu dan sebelumnya. kami sama2 di Bandung tapi aku sering ke luar kota bahkan luar propinsi... luar pulau puklak! lalu, mas di malay dan aku di Bandung. Terakhir, aku di Bandung, dan mas di Malang. Duhhh... rasanya, saat itu, perjumpaan adalah hal yang paling kami nantikan.

maka sejak keputusan resignku, 3th lalu, praktis... kami pun bersama. pagi jumpa.. siang ketemu... sore bareng, dan pasti, malam... tidur bersama. ha ha... dulu memang tidur bareng, tapi waktunya doang, tempatnya terpisah jara6k dan waktu, hehe.

Daaaaaaan...
Maret 2010. tahun ini, Zaki, menambah berartinya bulan ketiga ini buat kami. Dia bisa bilang R! Subhannallah! meski awalnya belum begitu jelas, berkat latihan... di bulan April... r-nya semakin kentara. Alhamdulillah, Allahu Akbar!
sekedar berbagi, Zaki baru bisa bilng L, pada 22 nov 2009. hihihi....

Sekolah Pertama Zak

Melihat perkembangannya yang sedikit egois dan 'susah berbagi' kami rada khawatir. Kami menebak, semua ini karena ia adalah anak yang paling didahulukan kepentingannya di banding si abang sayang. Karena ia paling kecil, semua yang ia mau, selalu kami usahakan. terlebih, karena si mama bukan seorang yang suka bersosialisasi ke tetangga2... lebih nyaman nguplek di dapur untuk bikin kue dan duduk manis depan kompie entah untuk menulis, buka email atau sekedar tengok fesbuk... sementara si ayah, lagi seru2nya nulis thesis. Terlebih Zak agak susah bergaul dengan kawan baru (dibanding abangnya) dan suka minta pulang jika diajak bersilaturahim. Berbeda dengan abang Iq, yang sejak 2 bulan 14 hari sudah diajak ngantor. bertemu orang berbeda setiap hari. berdesakan di angkot tiap pagi dan sore atau kadang 'terpaksa' naik taksi jika hujan besar melanda. Abang Iq lebih mudah berteman... dan lebih enjoy ketika harus ikut mama ke rumah kawan.

Bak gayung bersambut, kekhawatiran kami dijawab oleh permintaan Zaki untuk bersekolah. segala konsekuensi mama utarakan. mulai dari harus disilin jika bersekolah, ga boleh bolos... ga boleh nangis... kl mau pipis cakap cik gu, dsb... dsb. sayangnya, satu hal penting, bahwa bersekolah itu tidak ditemani mama, lupa disebutkan.
maka... bisa ditebak!
hari pertama, ketika mama masih boleh menemani, dia senang2 saja. datang dengan senyum... ceria di sekolahnya... eksplore seluruh ruang kelas dan bilang, bahwa' sekolahnya best!
tapi,
begitu hari kedua... mama harus pulang dan dia harus tinggal sendiri, ia pun berteriak minta pulang. mau mamaaa... mau mama...!
duh Gusti, sediiiiiih rasanya hati si mama. sepanjang perjalanan pulang, nyetir, sembari nangis dan berdoa. Bermohon pada Sang maha Perkasa agar menyuktikkan keberanian di hati kecil sang pangeran.
tak sampai dua jam seperti yang dijadwalkan, satu jam saja rasanya sangat lama. maka, sebeum waktunya pulang, mama dan abang pun datang menjemput. Zaki... begitu tahu si mama datang, langsung berlari, memeluk mama. tangisnya pecah!

hari ketiga.
pengalaman mengantar masih sama. menangis di awal... kata cik gu, menangisnya cuma sebentar. lepas tu... duduk baik2 dan mau diajar mengaji. pulangnya, tak seberapa heboh seperti hari pertama. cuma mewek dikit, lalu tersenyum.

hari keempat.
dari malam sebelum sekolah sudah bertekat untuk tidak masuk. malah tanya, kenapa ia disekolahkan oleh mama dan ayah. lah? adik yang minta kan Nak? hiks./..s edih deh mama. pagi... siang... terus bilang ga mau sekolah. sampe tertidur segala saking takutnya berpisah dengan mama. duh! miris hati mama. sayangnya, mama tidak bisa memeunhi keinginannya. karena ternyata mama harus menggantikan jadwal kawan untuk mengantar anak2 pergi ngaji. nah loh! adik dibangunkan. diajak ke sekolah meski menolak dan nangis. lalu mama bilang dari hati padanya, "sayang, adik berani! Allah akan berikan keberanian di hati adik!" Zaki diam sesaat lalu lantas nangis lagi. sampai di sekolah, mama turun dari mobil, Zaki sibuk mengunci pintu. keukeuh diam di mopbil, tak nak turun. cik gu Siti datang, mengajaknya masuk. dan tangisny apun pecah.
pulangnya, si ayah yang menjemput.
hari kelima.
Subhannallah!
dia berani! sudah tidak nangis lagi. dan dia dah ceria.... ALhamdulillah, Rabb. bantulah anakku berkawan dengan baik... berikan akhlak yang mulia pada mereka dan jauhkan dari bahaya dan sakit, aamiiin.

go Zaki goooo! kmu bisa Nak! kamu mewarisi keberanian ayahmu dan kakek2mu, dan kamu juga membawa kesupelan mamamu. *cieehhhh, hihihihi --ngaku2--*
terus berjuang! semoga dapatkan pengalaman, kawan yagn banyak, dan ilmu ya sayang...
semangat!!!!!!!!!