Tuesday, October 7, 2008

Kritik Itu Indah

Suatu pagi, selepas mengantar kue-kue, saya terisak. Sembari memacu mobil dengan kecepatan sedang, saya seka air mata yang terus menerus jatuh, tak mau berhenti. Kalimat pemilik kedai, bahwa kue saya kurang bagus membuat hati ini tersayat dalam. Sakit! Perih! Entah kata apa lagi yang harus saya ungkapkan, untuk menyatakan rasa pilu hati saya.

Sebenarnya, saya ingin membantah kalimat pemilih kedai tadi. Saya ingin mengungkapkan, bahwa pemilik kedai lainnya, menerima kue saya dengan sangat baik. Bahkan pesanan darinya tak hanya dalam hitungan puluh, melainkan ratusan. Seribu potong kue pun pernah saya dapatkan. Ingin sekali saya berteriak tadi. Tapi kemudian saya pikir kembali, untuk apa saya ungkapkan semua itu? Untuk pamer bahwa kue saya baik-baik saja? Lantas, apa manfaatnya? Apa iya bisa berguna untuk membuat si pemilik kedai berhenti menceramahi saya?

Rasa tak terima masih juga menyesaki dada saya. Inilah sebabnya air mata saya tak berhenti juga. Lalu kembali saya berpikir ulang. Sebagai seorang yang sedang belajar 'berusaha', saya harus kuat. Pun menghadapi kritikan pedas seperti tadi. Anggap saja ini kritik membangun, untuk membuat mental bisnis saya semakin kuat. Agar kue-kue buatan saya semakin enak. Hati saya sedikit sejuk. Namun sisi lain hati saya terus menyatakan tak terima dengan perlakuan si pemilih kedai tadi. Lantas, doa pun mengalir begitu saja.

'Wahai Rabb kami, Tuhan Yang Maha Mengetahui. Engkau pasti sudah melihat apa yang terjadi di pagi buta, pada hamba-Mu yang sedang belajar berusaha ini. Sakit, duh Gusti. Hamba tak pernah menerima perlakuan seperti ini sebelumnya. Selama ini, Engkau telah berikan kemudahan kepada hamba untuk belajar, hingga pekerjaan seberat dan sesulit apa pun di kantor, hamba bisa lakukan. Dan sekeliling hamba pun menyenangi hasilnya. Tapi kini, rasanya sulit untuk hamba menerima bahwa ada yang tidak suka dengan kue buatan hamba. Untuk itu Ya Rabb, bantulah hamba untuk belajar lagi. Biar hamba bisa terus lebih baik, dan sekeliling hamba menyukai hasil pekerjaan hamba, aamiiin."

Hati saya bertambah lega. Dan kini, semua kritikan maupun celaan, akan saya jadikan sebagai masukan untuk menjadi lebih baik. Meski begitu sulit untuk mendengar dan mencernanya dalam hati dan pikir saya.

Ambil Baiknya Saja


Ya benar. Karena setiap orang pada dasarnya punya sisi baik. Allah sudah berikan hati nurani dalam diri tiap-tiap manusia. Oleh karenanya, tidak ada orang yang mutlak jahat. Pasti, ada kebaikan yang mereka lakukan.

Saya jadi teringat dengan percakapan bersama seorang sahabat hampir sepuluh tahun berselang. Waktu itu, seminggu sebelum keberangkatan saya menuju tempat hijrah, Bandung! Yup! Kota kembang adalah kota pertama saya ditakdirkan untuk melanglang buana, menjelajah negeri tercinta. Dan saya yang notabene adalah seorang yang samasekali belum pernah pergi jauh, tentu merasa ragu sekaligus exciting dengan pengalaman baru yang akan saya alami. Salah satu yang saya takuti adalah pergaulan baru di dunia kerja. Saya takut tidak bisa membawa diri. Saya khawatir tidak bisa mengikuti persaingan yang akan terjadi nanti. Saya cemas, jika saya akan tersingkir dan kemudian terkucil di dunia baru saya. Maka, selain meminta nasehat kepada Bapak, orang yang sangat saya kagumi, saya juga meminta saran kepada sang sahabat.
Ia saya anggap mempunyai pergaulan yang jauh lebih luas dibanding saya. Pengalaman berorganisasinya tak diragukan lagi. Dan beratus kawannya yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, membuat saya semakin yakin akan kepiawaiannya mengelola hati.

Maka, dengarlah sarannya waktu itu.
"Membawa diri itu, memang gampang-gampang susah. Tak boleh terlalu menonjolkan diri, tapi juga tak baik menarik diri. Jangan selalu ingin menguasai pembicaraan, karena setiap manusia itu, pada dasarnya ingin selalu didengar. Jika bertemu dengan si trouble maker, yang pasti selalu ada dalam sebuah komunitas, jangan pula menjauhinya. Belum tentu ia juga akan membuatmu merugi. Ingatlah. Pada dasarnya, setiap manusia itu punya sisi baik. Seburuk apapun ia, suatu waktu akan ada bisikan baik dari hatinya. Itulah mengapa, bersikap baiklah kepada siapa pun! Meski semua orang dalam komunitas barumu mengatakan ia buruk, jangan serta merta menjauhinya. Bergaulah sewajarnya saja. Jangan terlampau akrab, jangan pula terlalu acuh. Semua yang tidak berlebihan itu akan baik akhirnya."

Benar juga ia bilang. Ketika suatu hari saya dihadapkan pada seorang yang menurut sekeliling teramat acuh, sinis, jutek. Saya belajar untuk terus berbaik sangka. Saya tetap mengajaknya tersenyum meski tak berbalas. Saya terus menyapanya meski kadang ia pura-pura tak mendengar sapa saya. Saya juga terus menanyakan kabarnya, kondisinya, sekedar berbasa-basi, walaupun seringkali pula ia acuh tak acuh pada saya. Hingga akhirnya, entah angin apa yang membuat ia demikian manis kepada saya. Ketika orang-orang tetap diacuhkannya, maka kemudian, sayalah orang yang berhasil menjadi teman dekatnya. Yang selalu diajaknya berbelanja kemudian dan juga sering ditawari makan siangnya. Sampai detik ini pun, ketika saya sudah demikian jauh darinya, ia tetap sering menanyakan kabar saya. Atau kabar anak-anak dan suami saya. Subhannallah...!

Dan kini, semakin saya pahami. Dimanapun saya berada. Saya tetap harus yakin, bahwa, setiap manusia punya sisi baik. Manakala ada sesuatu yang membuat hati kita tak nyaman dengan perlakuan salah satu dari mereka, berhusnudzan adalah yang terbaik. Dan mengambil baiknya saja, adalah kunci untuk tetap bisa menjalin silaturahmi. Agar tak ada lagi silaturahmi yang terputus. Sulit memang. Tapi inilah hidup! Saya harus berjuang untuk terus melakukannya...

Saturday, October 4, 2008

ultraman nexus

ultraman nexus kuat banget dan tere. dia punya besi tangan yang sangat kuat.


iq suka sama ultraman nexus.




dari thariq.

Takuk Kadei...

Setelah dua tahun lebih saya bersamanya, merawatnya, mendidiknya, mengasihinya setulus hati, memenuhi kebutuhannya, baru beberapa hari lalu saya merasa bahwa ia demikian mendambakan kehadiran saya. Bahwa ia sangat membutuhkan saya lebih dari segalanya.

Seminggu lebih yang lalu.
Kami sedang bermain bersama di kamar, menjelang tidur malamnya. Tiba-tiba mata saya tertuju kepada kabel AC yang telanjang dan keluar begitu saja dari balik dinding kamar. Kabel yang lama tak terperhatikan dan berdebu tebal itu pun saya bersihkan dengan lap pel. Sembari membersihkan, saya berkomentar, "Hehehe... berdebu, kayak berbulu ya Bang...!" Si abang menanggapinya dengan terbahak. Ia cukup geli dengan kalimat saya. Namun rupanya berbeda dengan sang adik. Ia langsung menjerit ketakutan. Ketika saya gendong, tak seperti baisa, ia pun bersembunyi di balik pelukan saya. Kakinya dimasukkan ke dalam pelukan saya. Ia benar-benar ketakutan. Dan malam itu, ia tak mau tidur di kamarnya. Ia memilih tidur di kamar kerja si ayah meski keringat mengucur dari keningnya akibat kepanasan tak ada fan.

Dan saya betul-betul menyesal. Jika saja waktu dapat saya putar ulang, saya pasti tak mengucapkan kata-kata itu. Astghfirullahal adziim... Sebagai seorang muslim, saya tak boleh berandai-andai, karena itu pekerjaan syetan. Yang harus saya lakukan adalah menetralisir ketakutannya.

Maka, esoknya, adik yang masih ketakutan terus saja di gendongan saya. Dan tentu, aktivitas rumah tangga pun saya abaikan. Beruntung, si ayah membantu, meski ia sedang sibuk berat hingga berhari-hari tidak tidur malam.

Setiap hari saya berikan kekuatan kepadanya. Lewat kata-kata lembut di telinganya saya bisikkan bahwa ia adalah anak yang kuat, pemberani. Kabel itu benda mati. Ia baik. Tidak akan melukai adik. Abangnya juga menyemangatinya dan bilang, "Adik jangan takut kabel. Takut itu hanya sama Allah, ok?"

Sebentar ia terlihat mulai berani, tapi kemudian histeris lagi dan memeluk saya rapat sambil berteriak, "takuk kadeiiiii...!"
Pada malam kedua, ketika ia masih juga sering histeris, saya menangis. Terus saya bisikkan kalimat yang sama. Memotivasinya agar ia bisa membuang rasa takutnya. Doa pun saya alirkan untuknya. Memohon kepada penguasa dirinya, Allah Yang Maha Berkuasa, agar membuang rasa takut yang berlebihan di hatinya.
Saran Mbah Halim, ayah saya, agar mengirimkan Al Fatihah untuk Nabi dan adik pun saya ikuti. Jika malam menjelang, saya bacakan ayat kursi dan ayat pelindung serta doa-doa yang tercantum di al Ma'tsurat untuknya, seperti yang sudah saya lakukan ketika abangnya kecil.

Dan Alhamdulillah, sekarang adik sudah lebih baik. Ia sudah mau bermain sendiri. Dan ia juga sudah mulai berani seperti dulu meski kadang ia masih juga bilang, "bye kadei.. adik ngga takuk kadei..!" Hehehe, sekedar memberanikan diri sendiri. Alhamdulillah...

Iq Jadi Matre...?

Geli campur sedih... (gimana ya rasanya?), liat Iq dapet uang raya. Habis, anak yang dulunya ga kenal uang, kok malah jadi ngitung uang tiap hari. (Btw, klop banget ya pelajaran Cik Gu Siti tentang uang beberapa minggu sebelum libur raya...).

Maka begitulah, setiap hari... Iq ngitung uang di dompet tweety-nya. Meski cuma nambah empat ringgit, ia tetap menghitungnya dari pertama. Dan sebelum tidur, ia selalu mengingat berapa total uangnya hari itu. Tak lupa ia mengingatnya, sehingga setiap kami bertanya berapa jumlah uang raya-nya, ia pasti akan menjawab dengan cepat.

Yang membuat kami sedih, Iq 'merayu'adiknya untuk memberikan uangnya kepadanya. Katanya sih, 'adik belum tahu uang, jadi ngga berguna ia pegang uang. Nanti malah dibuang, Ma..." Hehehe...
Belum lagi jika ia membandingkan hasilnya dengan uang raya Mas Faris, anaknya Bu Niam. Wah.. kami cuma bisa geleng-geleng kepala aja.

Sampai malam kemarin, saya panggil ia dan saya berikan pengertian tentang uang. Tentunya dengan bahasa sederhana.

"Iq. Uang itu, salah satu kekayaan manusia. Dan memang, Allah sudah berfirman di Al Qur'an, bahwa manusia di dunia memang mencintai kekayaannya. Tapi, Nak. Jangan sampai kita diatur oleh uang. Kita yang harus mengatur uang. Jangan sampai waktu Iq habis buat ngitung uang, sampai Iq pun lupa gosok gigi sebelum tidur. Sampai Iq harus mengingat2 terus jumlah uang Iq berapa. Dan satu lagi, uang Iq itu bukan sepenuhnya uang Iq. Ada uang adik juga kan? Jadi, Iq tetap harus membaginya jika Iq nanti belanjakan uang itu. Ya?"

Ia pun mengangguk. Meski mungkin sebagian kalimat saya masih belum bisa dicernanya, minimal, ia mengetahui bahwa uang tak boleh lagi mengatur hidupnya. Dan ia, tetap harus membaginya bersama saudaranya.

Iq tersenyum. Dan pelukan hangat pun ia hadiahkan buat saya.