Sunday, November 9, 2008

Nak Balik Kampong...!

Alhamdulillah. Rasanya itu tak cukup kami ucap manakala Dr. Asri, co-supervisor si ayah menelepon dan menyatakan bahwa tiket balik sudah dipesan. Senangnya hati kami.

Maka, aku pun segera menyusun jadwal. Persiapan menuju ke sana dan selama di sana. Tak lupa mencatat barang2 yang akan dibawa, rencana yang akan dibeli di Indonesia, kue yang dibeli untuk oleh2, kue yang dibuat untuk oleh2, kue yang akan dibuat di Indonesia... Ups! kue melulu ya... dasar tukang kue.

Ternyata, tanggal 23 Nopember (hehe, pake 'p', bukan 'v' loh! kata Bang Yuzri, Direktur ku dulu di LAPENKOP...), sudah tak lama lagi. Dua minggu lagi. Sedangkan kami belum beli buku Iq. Belum siapkan apa2... belum bersihkan rumah. Seterikaan juga masih numpuk, akibat sibuk buat kue, hehehe...

Malam tadi, aku sms Ibu tercinta. Mohon doa biar rencana ini lancar dan kami bisa selamat sampai tujuan dan kembali dengan selamat. Tadinya sih aku pengen buat kejutan. Tapi, pengalaman memberi kejutan serupa beberapa tahun silam membuat aku mengurungkan niatku. Waktu itu, aku yang lagi hamil anak kedua (ternyata de Karim ya di perut mama hehehe...), memutuskan untuk memberi kejutan. Maka kami pun berangkat ke malang, dari bandung dengan naik kereta api tanpa memberi tahukan kepada orang tua. Namun sepanjang perjalanan, ada saja kejadian yang hampir membuat kami celaka. Mulai dari kereta yang tiba-tiba berjalan padahal kami sedang menyeberang... kereta yang ujug-ujug berjalan padahal kami belum turun semua... kereta yang lambat datang da

Peniru Ulung si Abang

Yup! Jangankan tingkah laku abang, setiap kata yang keluar dari mulut abang, pasti ditirunya. Abang bilang, "Adoi!" ia menirunya. Abang melompat, ia turut melompat. Abang berlari, ia juga. Abang bergaya bak ultraman, ia ikut serta. Berteriak, menggerakkan tangan dan kepala, persis si abang.

Ah...
Dan senyumku senantiasa mengembang mengikut perkembangan mereka.
Alhamdulillah...

Permata Hatiku

Ia memang berbeda dengan abangnya. Lingkungan yang ia terima saat ia masih kecil, dengan lingkungan tempat abangnya tumbuh juga jelas berbeda. Abangnya besar bersama sang Ibu, pengasunya. Sedangkan, ia, Karim kecilku, tumbuh sepanjang hari bersamaku. Kuurus ia sendiri, kujaga ia... kuajak ia bermain, membantu pekerjaan domestikku. Kuajak ia mengantar jemput abangnya, mulai dari jalan kaki... naik motor, hingga ketika Allah memberi kemurahan rizki pada kami sampai kami mempunyai mobil.

Ia dengan setia mengikuti ke mana aku pergi. Namun rupanya, aku tak bisa memaksimalkan waktu bersamanya. Aku sering kelelahan sehingga seringkali tak bisa memenuhi keinginannya untuk bermain bersama. Menyuapinya saja seringkali kulakukan dengan buru2. Kuajarkan ia untuk mandiri, jauh lebih awal dari yang seharusnya ia lakukan. Belum genap dua tahun usianya, ia sudah bisa meminum sendiri air putih dari gelasnya. Meminum susu dari botolnya sendiri, meletakkannya di meja dan bermain sendiri.

Sampai suatu ketika, aku tersadar. Bahwa ia, permata kecilku, seratus persen bergantung kepadaku. Aku adalah ibunya, tempat ia menyandarkan ingin di hati. Aku harus menjadi lebih sabar menhadapinya. Aku harus mengajarkan banyak hal di masa periode emas tumbuh kembangnya.

Alhamdulillah, kesadaran ini muncul sebelum terlambat. Dan tadi pagi, kumulai lagi pelajaran matematika untuknya. Ia, adalah manusia yang sama istimewanya dengan bayi2 istimewa lainnya. Dan ia menunjukkannya kepadaku tadi pagi. Ia begitu antusias belajar bersamaku.

Maafkan mama sayang...
berdoalah, semoga mama selalu bisa memberikan yang terbaik untukmu...
aamiiin...

Cahaya Mataku

Kemarin. Ahad, 9 Oktober 2008, kami menghadiri majlis konvokesyen Iq. Layaknya seorang wisudawan, Iq dan kawan2nya dari tadika ihsan begitu berseri wajahnya. Sepanjang jalan, ia bercerita. Untuk acara yang dimulai pukul 9 pagi itu, rencananya, ia ditugasi untuk membaca ayat suci Al Qur'an, sebagai pembuka acara. Ayat kursi adalah pilihan Cik Gu-nya. Beberapa hari sebelumnya, saya sengaja melatihnya, seperti yang diminta para Cik Gu. Supaya suaranya lebih lantang dan supaya keberaniannya keluar. Ada sedikit rasa ragu di hati saya, khawatir, takut ia menjadi demam panggung dan malah tak bersuara nantinya. Maka, setiap kali pikiran itu muncul, segera saya berlindung kepada Allah, mohon kemudahan baginya.

Malam sebelumnya, saya sempat bertanya. "Iq takut ngga kalau nanti ramai orang?" Dengan lantang ia jawab, "Ngga! Kenapa takut Ma? Iq berani!" Senyumnya pun mengembang. Ah, semoga saja benar, ia berani sampai saat yang dinanti tiba.

Maka, saat itu pun tiba. MC membacakan senarai acara dan Iq pun diantar Cik Gu Rumini ke atas panggung. Bersama kawannya, Aneeza, yang bertugas sebagai saritilawah, ia duduk dengan tenang. Wajahnya tidak nampak tegang. Malah saya yang dag dig dug sendirian.
Lantas, ia pun mengucapkan salam kepada seluruh hadirin, dan membaca ayat kursi. Lantang, jelas mahroj dan tajwidnya. ia juga tenang. Subhannallah... Alhamdulillah... Allahu Akbar!
Hati saya memuji kebesaran-Nya. Air mata saya menetes begitu saja. Haru, bahagia...

Ya Allah, begitu istimewanya ia. Anak yang Engkau titipkan kepada kami. Bantulah kami agar senantiasa bisa memenuhi segala kebutuhannya, segala harap dan inginnya. Bantulah kami untuk bisa mendidiknya dengan baik. Jagalah fitrahnya.
Engkau telah menanamkan keberanian di hatinya, bantulah kami mengembangkan bakat alaminya, dan jauhkan kami dari perbuatan sia-sia yang dapat merusak potensinya, aamiiin...

Dan satu lagi, Rabb...
Jangan biarkan hati kami, kedua orang tuanya, tersusupi sedikit saja rasa sombong karena keberhasilan yang diraihnya. Jadikanlah kesuksesannya sebagai sarana untuk kami bisa lebih mendekatkan diri kepada-Mu, aamiiin...