Sunday, October 17, 2010

Lurus di Jalan Ini

Anda pernah dikhianati seorang kawan? Pernah diberitakan dan digunjingkan demikian hebat oleh seorang yang menganggap anda teman?

Rasanya hampir semuanya pernah mengalaminya ya... Di masa lalu, di saat ini, bahkan mungkin di masa depan? Who knows? Perempuan... perempuan! Berghibah memang godaan ternikmat. Awalnya mungkin sekedar berbagi cerita, lalu karena ada rasa tak suka --entah apa sebabnya-- maka apa pun yang kita lakukan menjadi salah.

Maka, ketika gosip tentang saya mampir di telinga saya sendiri, saya hanya tersenyum. Ah, dia lagi... dia lagi. Jika memang salah, apa salah kami pada mereka? Kenapa mereka tak menegur saja secara langsung? Jika gunjingan ini hadir karena iri, apa yang kami punya dan membuat mereka terbakar rasa ingin memiliki? Harta kami? Rasanya tidak, karena kami hidup seperti keluarga pelajar kebanyakan. Jika kami bisa membelikan mainan anak-anak lebih banyak, itu karena rahmah Allah yang memberikan kemudahan pada usaha saya. Entahlah...

Maka, ketika untuk kesekian kalinya gosip itu mampir kembali ke kami, ada rasa di hati ini untuk mengklarifikasi kepada orang lain yang mungkin ia ajak bergosip. Hati saya bolak-balik... berulang saya pikirkan langkah ini.

Lalu jika saya melakukannya, apa manfaatnya? Palingan saya malah mengikuti langkahnya, sibuk ngobrol ke sana ke mari. Itu jika saya bisa menjaga mulut saya untuk tidak membicarakan keburukannya menurut saya, tidak tidak? Saya akan ikuti jalannya, berghibah kian kemari! Iiihhhh, syereeeemmm... Naudzubillah!

Maka Allahku,
hamba sudah memilih jalan ini. Untuk diam. Untuk tidak mengcounter apa pun yang mereka katakan tentang kami. Ijinkan kami terus lurus di jalan ini. Kuatkan langkah-langkah kami yang seringkali hampir goyah karena bisikan musuhMu.

Ridhoilah usaha kami ini Rabbi...
Karena kami yakin, Engkau Maha Tahu apa yang terjadi di antara kami.
Jagalah kebersihan hati kami ini. Jauhkan dari sifat-sifat buruk yang Engkau murkai...
Ampunkan dosa-dosa kami...
Jadikanlah kami orang-orang yang ikhlas...
yang sabar...
yang tawadhu...

Kami tak perlu belas kasih dan perhatian baik dari makhlukMu Rabb...
karena Kasih Sayang dan PErhatianMu, jauh lebih baik bagi kami...

Astaghfirullahal adziim...

maafkan kami, saudaraku semua. Jika dalam bertutur dan bersikap, kami sering melukai Saudara sekalian. Semoga Allah selalu memberkahi dan meridhoi langkah kita, aamiiin...

Jika Anda Melakukannya Lagi

Marah! Itulah yang sedang saya rasakan saat ini.

Tiga tahun lalu. Saya masih selalu melampiaskan kemarahan saya kepada yang saya rasa salah. Saat itu, jika mendengar berita bohong tentang saya, tak berpikir lama saya akan langsung mendatanginya. Berbicara berdua, menanyakan apa maksudnya lantas mengatakan bahwa yang ia katakan bohong belaka. Tanpa memberikan kesempatan pada lawan bicara, saya mewanti-wanti agar ia tak lagi mengulangi perbuatannya. Jika digambar karikatur, saya yang marah kala itu, mungkin akan keluar cakar yang panjang, taring tajam lalu asap dari kedua telinga saya, ups! Ngeri betul!

Waktu berjalan. Saya mendapat banyak pelajaran hidup di tanah rantau ini. Dan baru saja, untuk kesekian kali, seharusnya, saya melakukan hal yang sama kepada si fulanah yang tak pernah jera ini. Hmmm... berulang kali ia 'melabrak' --istilah yang lebih pas daripada sekedar ishlah-- saya, dengan berdasar pada prasangka dan 'berita' yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, karena berasal dari anak-anak. Mending saya yang dilabraknya memang salah, lha ini... tanpa bertanya lebih dahulu, nada bicaranya menuduh, suaranya bergetar dan kemarahan nampak jelas dari sana. Wuih! Wajah saya tentu memanas. Saya tak terima. Tapi entah, kenapa cakar saya tak kunjung keluar? Taring saya masih sejajar dengan gigi seri? Dan asap yang saya harapkan keluar dari telinga tak juga menampakkan diri?

Saya hanya diam, sedikit tersenyum meski kecut, dan berpikir keras, ke mana arah pembicaraan 'kawan baik' saya ini. Lalu saya pun menutup telepon dengan pelan. Aih! Aryyyyyy... apa yang terjadi padamu? Ayooo, maki dia! *Setan dalam hati saya menyemangati*
Dan entahlah, saya tetap diam. Kemudian, seperti beberapa kejadian berikutnya, saya mengklarifikasi pihak2 dalam keluarga saya yang berhubungan dengan masalah ini. Menanyakan duduk persoalannya. Alhamdulillah, dalam keluarga kami, sudah dibudayakan untuk berbicara terbuka dan jujur, mengatakan apa adanya. Jujur = terbaik. Jujur = tidak boleh dimarahin. Dan terbukalah cerita yang insyaAllah bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Saya menghela nafas. Saya telepon kembali fulanah yang baik hati, ramah tamah dan tidak sombong ini. Bismillah...
Saya katakan menurut versi kami. MasyaAllah... Dengan ringannya dia tertawa, mencoba mencairkan suasana yang terlanjur kaku, mengatakan bahwa ini tingkah anak-anak. Tanpa merasa bersalah terhadap hati tak karuan dan jantung saya yang tak beraturan setelah mendengar kalimat-kalimat kerasnya tadi. Astaghfirullah... Lalu ia tanpa penghayatan, meminta maaf jika ada salah-salah kata. Owh... mudahnya semua berlalu.

InsyaAllah, saya memang sudah memaafkannya. Berulang kali ia lakukan ini pada saya, berulang kali pula saya melupakannya dan mencoba menjalin silaturahim yang sama.

Tapi, Bu...
Jika Anda ulang lagi, dengan terpaksa, saya akan bilang, "Ok, saya maafkan kesalahan anda kali ini. Demikian juga mohon maaf atas kesalahan saya. Tapi, saya tidak suka cara dan bahasa Anda. Lain kali, carilah dulu fakta-faktanya. Atau minimal, katakan dengan santun. InsyaAllah, saya adalah orang yang terbuka, yang lebih menghargai teguran Anda daripada Anda harus berghibah di belakang saya."

Hmm...

Friday, October 15, 2010

Vocab Zaki

Zaki, 4 th 1 bulan.

Bocah yang rame. Ngomong ga pernah berhenti. Seringkali vocabnya lucu... mungkin itu yang ditangkap telinganya dan persepsinya. Tapi jadi lucuuuu... Ini ni misalnya:

bilang tentang jadi kentang
mau bialng sprei, malah kisspray, hihi... promosi ya de?
amplop, bilangnya amplok! wkekkwkwk
krupuk lekor, bilangnya kerupuk kelekor, qiqiqiq
ngincip, bilangnya mincip! ha ha

naaahhhh, pas ada lagu, "aku pasti bisaaaa!!!" dia tirukan kok malah jadi, "aku pasti pingsaaaaaaaaaannnnnN! wahahahahaha....

Tuesday, October 12, 2010

Apa Rasamu untuk Suamimu?

Jika ada orang yang bertanya, apa perasaanmu untuk suamimu? Dulu, sekarang dan insyaAllah nanti? Secara spontan seorang istri pasti akan mengatakan cinta! Hmmm... betulkah? Apakah cinta yang saya rasakan dulu, sama dengan saat ini... atau bahkan nanti jika kami sudah menua? Maka saya pun perlu berpikir sejenak untuk mengurainya.

Dulu.
Selepas akad nikah. Sembilan tahun lepas. Saya sendiri seringkali bingung dengan rasa hati ini untuknya. Ia datang dengan tiba-tiba. Jumpa dalam bus antar kota antar propinsi, menuju tanah rantau, kami tak banyak berbincang. Lalu beberapa hari sesudahnya, ia mencoba menghubungi saya kembali namun tak bersambut. Saya malas menanggapinya. Dan ia pun menghilang. Hingga sepuluh bulan kemudian, ia datang menyatakan niatnya untuk memperistri saya. Tanpa pendekatan berarti, tanpa basa basi. Uhhh! Jantung saya berdegub keras mendengar pinangannya. Seminggu tak bisa lena tidur, ia sudah mendatangi rumah saya di Malang, mengutarakan niat baiknya kepada Bapak. Ketika Bapak sepakat, dua bulan kemudian keluarganya melamar saya secara resmi. Dan tiga bulan sesudahnya, kami menikah. Semua serasa serba cepat dan mendadak, di tengah kesibukan saya sebagai pelatih perkoperasian, yang hampir tiap hari bertugas ke luar kota bahkan pulau. Maka, ketika saya sudah berada di kamar pengantin bersamanya, saya pun sedikit bingung dengan semuanya. --belakangan saya ketahui ternyata si dia juga merasakan hal yang sama, hihihi--

Saat itu, yang ada dalam benak saya adalah tekad yang kuat untuk menyayangi dan menghormatinya, sebagai seorang suami yang direstui oleh orang tua saya dan tentunya dipilihkan Allah untuk saya. Meski sulit, saya terus menjadi pembelajar untuk hal yang satu ini.

Tak lama! Beberapa waktu sesudahnya, rasa sayang itu mulai menguat. Ia hadir dengan perhatian berlebih dan usaha keras yang selalu berujung pada kebahagiaan saya. Wajar, jika lantas saya pun jatuh cinta. Ahhh, indah rasanya mengenang tumbuhnya cinta di hati ini.

Sekarang.
Rasa itu makin meraja. Saya mencintainya dengan segenap jiwa saya. Saya mencintainya karena Allah Sang Maha Cinta. Bahkan kadang saya merajuk padanya, jika ia mulai nampak semakin sibuk dengan aktivitasnya sebagai pelajar. Saya bilang, cinta saya bertepuk sebelah tangan! Ihhh, kok jadi terbalik? He he he... --biasalah, perempuan memang suka melebih-lebihkan... senang bermain dalam tataran perasaan!--

Sekarang, saya ingin selalu berada di sampingnya, meski ini tak mungkin lagi. Kesibukan sedang rajin-rajinnya mendatangi kami. Mengisi hampir penuh waktu kami, hingga berbincang menjadi aktivitas yang harus diusahakan. Bersyukur, ia memahami keinginan saya. Setiap hari, ia sisihkan waktunya buat saya berceloteh. Mengisahkan kejadian lucu yang terjadi di rumah tinggal kami, mencurahkan isi hati yang sedang galau, atau sekedar mengulang memori indah cerita kami. Wah, saya baru sadar! Ternyata, saya amat jarang menanyakan kabarnya, tentang kesehatannya, kemajuan studinya... Duh, Sayang... maafkan ary ya.

Nanti.
InsyaAllah Ya Tuhanku...
Hamba ingin selalu Engkau jaga rasa cinta dan kasih sayang ini di hati hambaMu yang dhoif ini, juga di sanubarinya. Ijinkanlah agar ia senantiasa tumbuh bermekaran dalam jiwa kami. Jadikan rasa ini sebagai sarana untuk semakin mencintaiMu duh Gustiku...
Kami ingin menua bersama. Menjaga buah cinta amanahMu... Mendidik mereka bersama, hingga menjadi pembela dienMu yang tangguh. Hingga mereka menjadi khalifah agung nan adil di muka bumiMu ini Rabb... Hamba ingin, rasa itu tak akan pernah pudar, meski wajah muda kami kian memudar dimakan waktu. Meski uban tumbuh dan makin memenuhi kepala kami. Jadikanlah tangan kami terus saling menggenggam, meski kekuatan kami kian berkurang...
Dan kumpulkanlah kami semua dalam syurgamu nan abadi, aamiiin...

Yups! Itulah yang bisa saya katakan tentang rasa hati ini untuk suami saya terkasih. Bagaimana dengan Anda, para sahabat? Para istri shalihah? Yuk! Mengurai rasa kita untuk lelaki yang lebih dari separuh waktunya mereka gunakan untuk memikirkan kita dan anak-anak kita. Lantas menuliskannya... dan kalau sudah tersaji dalam rangkaian kalimat, kita tunjukkan kepada mereka. Semoga bisa memompa rasa bangga suami kita, karena telah memperistri kita. Aamiiin...

Monday, October 11, 2010

Kejutan dari Zaki

Beberapa hari ini, mama 'dipaksa' Zaki untuk membacakan buku cerita. Owh! Ternyata, masa 3-5 tahun Iq berulang padanya, he he. Persis seperti Iq, Zaki selalu datang dengan setumpuk buku. Hmm... bagaimana mereka bisa memiliki kisah yang sama? Beberapa hari sebelumnya, mama mulai rajin membacakan buku. Satu... dua... paling banyak tiga buku. Rupa-rupanya, itu aktivitas yang menarik hatinya. Hingga, se-bad mood apapun dia, selalu bisa tersenyum ceria ketika ditawarkan baca buku. Aih, anak mama...

Dan semalam...
Zaki datang ke mama yang lagi asyik nunggu soes matang --sembari nonton tivi, hihi... ampun, Nak!--
Dia membuka lembar demi lembar bukunya... dari halaman pertama, daaaaannnn...
Membacanya persis seperti gaya mama membaca. Subhannallah!

Mama dan Iq saling berpandang atas kejutan manis ini...

Sunday, October 10, 2010

Cinta Nyata di balik Diammu

Pagi yang seperti biasa. Kuantar kue ke kedai-kedai di kampus luas nan alami ini. Di negeri jiran, di tempat yang awalnya teramat asing buatku. Alhamdulillah Rabb, Kau beri hamba warna indah ini... Kau beri kami kesempatan untuk menghirup udara sejuknya, menikmati asrinya, dan bergerak di buminya, demi menjemput rizki yang sudah Engkau tentukan ketetapannya untuk kami.

Pula, setiap aku dalam kesendirian. Pikiranku tak bisa berhenti bekerja. Rasa syukur terus menyeruak dari kalbu, dan terlantun dalam bisik kalimatku. Alhamdulillahi robbil 'alamiin...

Dan kini, tiba-tiba wajah kekasihku terbayang jelas. Meski ia terkenal dengan sosoknya yang pendiam, sungguh! Dia tak pernah diam didepanku. Dia selalu saja hadir dengan senyum jenakanya, dengan usahanya memberikan cerita lucu agar aku tertawa. Dan tadi malam, ia kembali hadir dengan cintanya. Ia mengatakan tak ingin melihat Bapak dan Ibuku bersedih. Maka, tanpa kuminta, ia berusaha mewujudkannya. Ia, dengan caranya, kemarin, telah menyuguhkan sebentuk asa untuk orang tuaku.

Ya Rabbana...
Maka pilihlah hamba menjadi bidadarinya di surgaMu kelak,
agar hamba bisa terus membahagiakannya...
Agar hamba bisa selalu menghadirkan senyuman di bibirnya...
ketenangan di hatinya...
Hamba ingin terus bersamanya,
bersama lelaki...
yang setiap desah nafasnya, adalah usaha tak kenal putus, demi kebahagiaanku dan anak-anakku...
kabulkan doaku Rabb...
Kumpulkan kami dalam jannahMu, aamiiin...

Friday, October 1, 2010

Catatan Penjual Kue III: Dua minggu tanpa si Ayah

Hari berganti hari. Aku masih disibukkan dengan baby Zaki dan antar jemput Iq. Jika sore tiba, kami jalan ke Kolej 9, untuk beli lauk pauk guna makan sehari. Seperti hari-hari sebelumnya, sore itu, kugendong Zaki dan kutuntun Iq, menyusuri jalanan yang turun naik menuju Kolej 9. Bercanda sepanjang jalan, meringankan langkah yang kian hari kian terasa berat. Sampai di depan lapangan futsal, aku sama sekali tidak melihat lubang besar di depanku. Maka aku pun terjerembab. Disaksikan beberapa pasang mata, yang bukannya menolong malah tersenyum kegelian, kurasakan wajahku memanas. Pasti merah nih pipi! Huuuffft! Kuusahakan berdiri secepat mungkin, dan kucoba untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Kulirik sebentar orang-orang yang beberapa detik menghentikan langkah atau kendaraan mereka, dan kembali kuajak Iq bercanda. Agak bingung Iq melihat roman mukaku. Duuuh, sayang! Mama maluuuu! Hiks...

***
Pulangnya, kami mendapat tumpangan dari Bu Nurma, yang lebih akrab dengan panggilan bu Bambang --seseorang yang di hari-hari berikutnya menjadi sahabat karibku--
Alhamdulillah.

Malam itu dan malam-malam berikutnya, aku mulai terbiasa dengan rutinitas. Dan kembali merasa biasa, dengan kesendirian.
Hingga suatu pagi kudapati tubuh Zaki demam. Tinggi sekali. Aku mulai sedikit panik. Kuutarakan kesulitanku kepada bu Agung. Beliau mengajakku ke rumah Bu Marwan, istri student yang di sini bekerja sebagai dokter di klinik milik orang Melayu. Zaki diperiksa. Suhu tubuhnya mencapai 38.7 derajat celcius. MasyaAllah, Nak! Zaki nampak mulai lemas. Ia tak seceria biasanya. Hanya sesekali saja ia bergerak, tak lagi aktif seperti sebelumnya. Aku menangis. Rabb, sembuhkanlah anakku. Malamnya, demam Zaki makin tinggi. Kugunakan metode kangguru untuk mengurangi demamnya. Kumasukkan ia ke dalam pakaianku dan kupeluk ia erat. Kurasakan panas badannya mengalir ke tubuhku. Ayo Sayang, transferlah panas tubuhmu ke mama dan ambillah dingin tubuh mama. Cepat sembuh, Sayang. Kuciumi ia berulang kali. Sesekali rintihannya terdengar. Duh Gusti, tak sanggup rasanya hamba melihat tubuh kecil itu tersiksa demam.
Malam berlalu sangat lambat.

***
Selepas subuh, kuperiksa kembali tubuh Zaki. Masih demam. Sementara Zaki tertidur kulakukan tugas harian a la ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel, mencuci dan memasak untuk sang buah hati. Begitu matahari mulai nampak, kembali kudatangi rumah bu Agung. Aku meminta informasi tentang jalan menuju klinik. Bu Agung langsung tanggap. Beliau meminta tolong kepada Pak Lalu, seorang student asal Lombok yang juga menetap di Malang. Tanpa banyak pertimbangan, Pak Lalu mengantar kami ke klinik. Zaki dengan baju hangatnya sesekali menangis dalam pelukanku. Sementara Iq tak bersekolah hari itu.

Sesampai di klinik, pak Lalu mengurus semuanya. Diberikannya kartu berobat kepada petugas yang nampak cekatan menangani pasien dengan demam tinggi. Tak sampai lima menit, kami sudah berada di ruangan dokter. Dokter meminta aku membaringkan Zaki ke tempat tidur. Beliau menyarankan agar aku melepas baju hangatnya, dan menggantinya dengan baju tipis, supaya hawa dingin dari luar bisa ikut meredakan panas Zaki. Kulihat sang dokter mengambil air dingin lantas mengusap kepala Zaki. Suster tak ketinggalan, membantu memasukkan obat melalui anal anakku. Aku sedikit surprise dengan penanganan demam di negeri ini. Tak mau penasaran aku pun bertanya. Lalu dokter pun menerangkan dengan perumpamaan. Bahwa demam ibarat air panas dalam cerek. Jika kita rendam ia dengan air dingin, maka air tersebut juga lebih cepat dingin. Itulah mengapa anak yang demam diusap kepalanya dengan air, supaya air dingin tersebut bisa membantu menurunkan demam yang berasal dari tubuh si anak. Bahkan, anak demam sebaiknya tetap dimandikan, dengan tidak berlama-lama tentunya. Dan baju hangat sungguh tidak boleh digunakan pada anak demam, karena hanya akan membuat si demam terus bertahan di tubuh anak. Ih, berarti selama ini salah dong ya... wah wah!

Subhannallah, begitu keluar dari klinik, suhu tubuh Zaki dah kembali normal. Keringat keluar deras dari tubuhnya, Alhamdulillah Ya Rabb! Kuucapkan terima kasih kepada pak Lalu dan bu Agung. Alhamdulillahi robbil 'aalamiin...