Wednesday, October 12, 2011

Semoga Istiqomah

Kulihat Thariq dan Zaki sedang makan sendiri. Dengan nasi, sup udang oyong dan tahu mereka makan. Hari ini kembali kumulai untuk lebih memperhatikan anak2ku. dengan memasak makanan untuk mereka, meski sederhana. semoga istiqomah. aamiin.

Saturday, October 8, 2011

ayam ada roda ya

Zaki: "Maa, ayam ada roda, ya?"
Mama: "Hah? apa sayang?" #kaget
Zaki: ayam ada roda ya? ini rodanya... #sambilnunjuk tulang kaki ayam yang mirip roda
mama: wkwkwkwkw

Zaki: maa, semua di dunia ini mau kaya ya?
mama: iya sayang
Zaki: makanya kalau kita beli harus bayar.
Mama: ????

Thursday, August 25, 2011

Farid --Bab II--

Sebulan lalu... *hmm, dah sebulan yaa... cepet bengat*

Mama sedang ngejar khatam kedua, anakku...
sekarang, setiap mama melihatmu, mama bersyukuuuurrr sekali. Allah berikan kamu kesempurnaan, sayangku.

melihatmu minum ASI dengan lahap, hati mama bersyukur...
melihatmu tersenyum saat tidur, mama terharu...

dan melihatmu muntah karena kebanyakan minum atau karena ngga bisa sendawa, hati mama menangis.

ah, Nak...
semoga Allah mudahkan semua perkembanganmu.
senantiasa sehat ya sayangku...
tumbuhlah menjadi anak shaleh yang selalu sehat.
semoga Allah selalu menjaga fitrahmu dan kedua abangmu...

mama mencintaimu, sayang...
kamu adalah bagian terindah dalam hidup kami...

Zaki dan Indonesia Raya

Seminggu ke belakang, Zaki (4 tahun 11 bulan) senang dengan lagu Indonesia Raya. Lagu yang didapat pertama kali dari suara bang Iq itu sepertinya cukup menarik hatinya. Ia pun tanpa malu-malu menyanyikan lagu kebangsaan tanah air tercinta itu.

Dan, ketika ia mulai menyanyi, maka berbagai pertanyaan pun meluncur dari mulut mungilnya.

Zaki: "Waah, abang bilang cinta-cinta ihhh!" serunya usil saat bait "Tanahku Negeriku yang kucinta..."
Thariq: "Eh, ngga papa lah de, kalau cinta untuk negara memang harus!" --sedikit membentak--
Zaki: "Owh...!"

Zaki: "Ma, kenapa kita harus cinta Indonesia?"
Mama: "Karena kita orang Indonesia, de..."
Zaki: "Iya, tapi kenapa?" --belum puas dengan jawaban mama--
Mama "Ehm... --mikir-- ya, kasihan lah de, kalau ngga ada yang cinta..." --ngarang, hiks... gimana coba jawabnya? hu hu hu--

Zaki: "Bang, badannya Indonesia harus dibangun ya?" --saat mendengar syair Bangunlah badannya--
Thariq: --diam, no comment--

hihihi... susyeeehhhh deh pertanyannyaaaa...


Sunday, July 10, 2011

Zaki, Panglimaku!

Dear Zaki,

Akhir-akhir ini, kamu sedang dekeet banget sama abangmu, Nak! Ke mana abang pergi, kau akan ikut bersamanya. Jika abang sekolah, kamu nampak sedih. Apalagi kalau abang lagi ijin main keluar.

Maafkan mama, ya Nak. Belum bisa mengajarimu main di luar rumah. Maafkan atas ketidaknyamanan rasa hatimu karena mama memang tidak pernah mengajarkanmu main bersama kawan2mu di luar sana.

InsyaAllah mama akan segera melakukannya, Nak...

Zaki, sekarang kamu sedang 'ngecuprus', ngomong apa saja dengan abangmu. Sesekali abang menyahut dan menjawab, lebih sering diam... sibuk dengan tivi dan pikirannya. Tapi kamu tak pernah penat untuk terus berbicara.

Mama senang, Nak. Waktu kemarin di jusco mama kelelahan dan meminta abangmu queue depan kasir, kamu menemani abangmu. Mama tengok, kalian berbincang layaknya orang dewasa. Sesekali tertawa lepas, seru sekali.

Zaki, kamu adalah panglima mama.
kamu selalu berusaha untuk menjaga mama.]
setiap hari, adik baby dalam perut selalu kaulimpahi dengan doa2mu untuk kebaikannya...
kamu juga selalu ingat saudaramu. Jika mama belikan sesuatu, pasti kamu minta dua, satu untukmu dan satu buat abangmu.
Kamu juga selalu berdoa jika ada sesuatu yang membuatmu resah. atau ada permintaan di hatimu.

anakku...
mama yakin, setiap anak memiliki keunikan sendiri...
jangan pernah takut menghadapi dunia ya nak...
jika orang sudah mengenal abangmu atas prestasinya,
mama yakin, kamu juga akan berprestasi dengan caramu...

mama sayaaaaang sama Zaki...
tumbuhlah membesar, sehat, sempurna dan kuat, Nak...
semoga Allah selalu menjaga fitrahmu dan mengajarimu dengan ilmuNya yang Maha Luas...

cinta mama selalu di nadimu,

with Luv, mama

Tuesday, June 28, 2011

Tak Perlu Kuntum Mawar Itu

Kolej Perdana, menjelang pagi.

Aku terbangun dengan darah di gusi akibat bengkak dari desakan gigi baru, yang tak kunjung mereda. Kucari si ayah di kursi kerjanya. Kosong. Kulihat lampu ruang tengah dan dapur juga mati. Kulongokkan kepala ke kursi di ruang tamu. MasyaAllah, suamiku sedang tertidur di kursi. Seperti biasa, dengan buku tebal terbuka di tangan.

Kusentuh ujung kakinya.
"Yah, bangun. Ada darah lagi!" seruku sedikit panik.

Jika sakit aku memang suka parno, takut berlebihan. Dan ini menurun persis pada sulungku. Kaget, ia terburu-buru menuju kamar. Dilihatnya bantalku. Sejurus kemudian, "Mama kumur air es, ya!" ucapnya. Aku mengangguk pasrah.

Dalam hitungan detik ia sudah mondar mandir menuju lemari es sembari membawa segelas air putih. Mengecek thesis di kamar. Mengecek air putih lagi. Begitu terus. Sampai akhirnya ia datang kepadaku membawa setengah gelas air dingin. Aku berkumur. Masih berdarah. Wajahnya nampak khawatir. Kembali ia ke depan lap top, mengecek thesis.

Kulihat botol obat cina untuk sakit tenggorokan dan gusi bengkak. Aku menghampirinya.

"Yah, ini boleh dipakai, ga?" tanyaku, tak seberapa jelas karena gusi yang membengkak.

"Kalau Mama merasa pahit, dipake kumur aja, ya!" jawabnya. Aku kembali mengangguk.

Suamiku itu pun segera menyiapkan air kumur ditambah sedikit obat. Aku kembali berkumur.

"Dah, sekarang Mama tidur. Di sini aja, nanti Ayah tungguin," katanya.

"Di sini panas, Mama mau tidur di kamar depan." Sahutku sembari beranjak pergi, menuju kamar depan.

Pagi itu aku pulas, gusiku tak lagi mengeluarkan darah. Alhamdulillah.

***
Menjelang Subuh. Aku terbangun, berkumur. Kembali ada sedikit darah, jauh berkurang dari sebelumnya. Si ayah memandangku cemas.

"Masih berdarah, Ma?" tanyanya. Ia masih duduk di depan lap top, mengetik. Aku mengangguk lemah.

"Nanti kita ke dokter, ya!" lanjutnya. Lagi-lagi aku mengangguk.

Pagi itu, aku menyiapkan sekolah Thariq seadanya. Meski gusi dan gigiku tidak sakit, tapi semangatku sedang terpuruk. Malas melakukan apapun. Lima menit menuju pukul tujuh, Thariq berangkat. Mas beranjak dari kursinya, menuju dapur.

Aku duduk di dekat dapur, memperhatikan setiap gerakannya.
Tangannya cekatan menggoreng tempe, menyiapkan bumbu dan membuat sambal tempe. Kompor satunya digunakan untuk merebus air, membuat bubur.

"Mama makan bubur aja, ya. Ayah buatkan," katanya, "Mana santan, Ma?"
Kuserahkan santan dalam kotak kepadanya. Lalu ditambahkannya dua biji telor, sejumput garam dan dibiarkan bubur sejenak di atas api sementara ia makan.

Lelakiku.
Duduk di lantai, dengan cobek didepannya penuh berisi sambal tempe. Sepiring nasi di tangan kirinya. Tak lama, ia pun larut dalam suapan demi suapan. Terasa nikmat.
Ada haru menyeruak di hatiku. Kini aku tak lagi memerlukan mawar merah yang selalu kuminta tiap kali kita membahas soal romantisme. Sikapmu adalah hal termanis. Paling romantis. Melebihi sekuntum mawar atau sekotak coklat mahal!

Di tengah kepusingannya mengerjakan thesis dan tambahan tugas dari sang profesor, ia masih begitu perhatian hingga sempat membuatkanku setengah panci bubur.
Ia juga tak pernah protes terhadap apa pun yang kumasak. Seringkali jika makanan sudah habis olehku dan anak-anak, karena ia selalu terlambat pulang, tanpa banyak cakap ia menggoreng telor atau tempe sendiri.

Ia begitu mengertiku.

Maafkan aku, sayang.
Sungguh, aku beruntung menjadi istrimu. Maafkan aku yang belum bsia sempurna menjadi perempuanmu, Mas.

Tapi yakinlah, bahwa aku selalu berusaha untuk itu.

Semoga Allah mengekalkan cinta kita hingga JannahNya, aamiin...

Thursday, June 16, 2011

Ada Banyak Nikmat Di Sela Air Mata

Pagi yang lengang, setelah gerhana semalam. Tangan dingin si ayah lembut menyentuh kulitku. Tanpa jeda aku pun terbangun.

"Sayang, katanya ada pesanan," ujarnya, masih lengkap dengan jaket bahkan helm.

Tertatih aku bangun dari tidur, berjalan lambat menuju dapur. Pegal di punggung akibat semakin tuanya usia kehamilan membuatku tak bisa seenergik dulu lagi. Kunyalakan kompor, bersiap membuat vla. Selanjutnya bisa dibayangkan, betapa sibuknya aku pagi tadi. Memproses vla, menyeterika baju Thariq dan menghangatkan ikan patin untuk sarapan. Di sela-selanya, masih kusempatkan membuka komputer. Tulisanku untuk antologi pengusaha muda harus kelar siang ini, tekadku.

Seperti biasa, jika pagi tiba, waktu serasa ikut berlari. Kubangunkan Thariq saat jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas. Biasanya, dia bangun tepat pukul enam. Tapi karena hari ini tak berangkat ke sekolah kebangsaan seperti biasa, melainkan ke sekolah agama aku membangunkannya lebih lambat. Letak sekolah agama yang cukup dekat dari U8, tempat tinggal kami, dan jam masuk yang agak siang, yaitu pukul 07.30 adalah pertimbanganku.

Thariq bangkit, tapi tidur lagi. Kali ini pindah ke kasur atas. Hmm... kuputuskan untuk melanjutkan seterika, sementara ikan baru kumasukkan di wajan.

"Yah, tolong bangunkan Thariq!" teriakku dari ruang depan. Si ayah yang serius memperbaiki proposal project milik kawannya, bergerak menuju kamar. Sebagaimana biasa, ia membangunkan dengan 'caranya'. Tak lama, terdengar suara Zaki.

"Jangan ganggu, Yah," ucapnya manja.
Sementara Thariq tetap tak bergeming.

"Yah, tolong angkatin ikan!" seruku lagi. Si ayah menurut saja, mengangkat ikan dari penggorengan, lalu makan dengan lahapnya. Aku tersenyum.

Sambil berteriak-teriak membangunkan Thariq aku terus bergerak. Mengisi vla, menyiapkan kue, menyiapkan seragam, menyiapkan nasi lengkap dengan ikan di piring.

Singkat cerita, kami berangkat pukul tujuh kurang sekian menit. Telepon berdering, nada khusus dari kak Anny.

"Sedang di jalan, Kak," jawabku. Kami menuju Mak Jah Cafe, meletakkan kue, berlanjut ke kak Anny. Selesai tugas mengantar kue, kami mengantar Thariq ke sekolahnya. Cik Gu Rosiah mengatakan bahwa Thariq harus diantar ke KTC. Begitulah, kami pun mengantarnya. Sampai di sana, kucium anak sulungku itu dan kubisikkan untuk bersemangat. Ia mengangguk.

Kami pun pulang. Sampai di rumah, aku melanjutkan tugas menulisku.

"Yaaa... semua ikut lomba! Ayah buat proposal, mama lomba nulis dan Thariq lomba hafazan --hafalan al Qur'an, bahasa melayu--," ucap ayah dengan nada bangga.
Ah, suamiku itu, dalam diam dan cool-nya rupanya sangat membanggakan aktivitas istri dan anaknya.

Aku kembali tersenyum sembari melanjutkan mengetik. Pukul 08.10, aku mandi dan bersiap pergi.

***
Inilah pengalamanku menyetir kembali setelah sekian lama vakum. Aku ingin menyaksikan buah hatiku bertanding, sekaligus tak mau menganggu si ayah yang sibuk dengan tugas-tugasnya. Maka, dengan ijin si ayah, aku kembali di belakang kemudi.

Sesampai di parkir yang penuh, di depan KTC, aku memutar mobil dan parkir dengan sedikit kesulitan. Tiba-tiba datang telepon dari Thariq, menyampaikan bahwa lomba di sekolah agama. Kami pun cabut.

"Gimana sih si abang, ya Ma? Parkir susah-susah, mama hamil pula, eh, disuruh ke sekolah agama," gerutu Zaki. Lagi-lagi aku tersenyum.

***
Thariq dipanggil maju pada urutan ketiga. Langkahnya tegap. Tegas. Lalu duduk takzim di depan mikrofon.

Suara lantangnya mengucap ta'awudz lantas berlanjut Al Fatihah. Haru menyeruak dari hatiku. Terkenang kembali saat-saat begitu sulitnya proses kelahiran sembilan tahun lalu. Sepertinya baru kemarin kupeluk ia dalam gendonganku. Kuajak ia pergi pagi pulang sore, menemaniku ke kantor. Panas terik seringkali menyengat kulit halusnya. Tak jarang hujan lebat mengiringi langkah kami.

Kini lelaki sulungku itu duduk tenang, bersuara khas nan lantang mengalunkan hafalan surahNya. Subhannallah. Tiba-tiba rasa bangga memenuhi hati. Mahrojul huruf-hurufnya jelas dan benar. Nada bacaannya menyentuh kalbu. Seorang guru tersenyum melihatnya. Guru lain tersenyum padaku saat aku sedikit berdiri untuk mengabadikan gambarnya.

Thariq, mewarisi sifat grogiku. Dua kali ia kehabisan nafas. Pasti karena 'bergetar', istilah yang ia sebut untuk gemetar. Juga saat pertama ia salah melafal al Insyirah, satu suku kata. Lalu, "Eh!" ucapnya. Selanjutnya, ia pun lantang, tegas dan benar menghafal Al Bayyinah. Al Insyirah dilanjutnya, Al Adziyat dan terakhir al Qori'ah. Subhannallah...

Mama tak berani berharap lebih pada hasilnya, Nak.
Tapi dalam doa, mama berharap agar Allah melapangkan hatimu untuk menerima apa pun keputusan para pengadil --sebutan untuk dewan juri di malaysia--.
Dalam sholat Dhuha dan Dzuhur mama mohonkan harapan itu.

***
Si ayah masih pulas. Aku tak tega membangunkannya. Zaki yang baru ngilu giginya karena kebanyakan makan coklat juga pulas di sampingnya. Tidur beralaskan tangan si ayah, satu tangannya memegang bantal giraffe dan satu lagi memegang note jualanku yang berhias lukisannya. Kutinggalkan dua pujaan hatiku dalam lelapnya. Aku berjalan menuju parkir.

"Kita jemput Abang, ya Nak!" ucapku pada calon bayi di rahimku.

Sepanjang perjalanan ia sibuk bergerak. Pasti tak nyaman, ya Nak. Tapi Bismillah, kita akan akan melewatinya. Allah akan menjaga kita.

***
KTC
Kulihat Iq berlari menujuku. Kuputuskan untuk berhenti di pinggir jalan. Thariq datang, dengan wajah kusam. Kembali, aku tak berani berharap terlalu tinggi. Ia membuka pintu.

"Mana adik?" serunya.
"Tidur. Gimana, Bang?" tanyaku ketika ia sudah duduk di samping kemudi.
"Nih!" serunya sambil memperlihatkan sebuah piala bertuliskan JOHAN.

"Alhamdulillah, Abang menang ya? Kok bisa? Kan tadi ada yang salah," cerocosku.
"Yang itu tak dinilai, lah Ma," ujarnya serius.

Kami tak jadi pulang, melainkan berbalik ke KTC untuk mengucapkan terima kasih kepada para ustadzah pembimbingnya.

Kuparkir si putih di tempat teduh. Kami bergegas menuju aula KTC. Di pintu nampak Ustadzah Dalilah, cikgu yang selalu perhatian dengan kehamilanku. Kuraih tangannya dan kucium ta'zim. Kuucapkan terima kasih. Pun ketika jumpa dengan guru besar --kepala sekolah-- kuperkenalkan diri dan kuucapkan terima kasih. Setelah bersalaman dengan beberapa ustadzah, aku pun pamit. Di luar aula, kuminta Iq menelepon Mbahnya.

***
Ya Allah...
sungguh, di antara air mata yang menitik karena si ayah belum selesai thesisnya, ternyata ada banyak rahmah tercurah untuk kami.

Makasih atas kemudahanMu menjadikan kami juara-juara baru.

Tuntunlah kami agar senantiasa menjadi hambaMu yang bersyukur, ya Allah...
aamiiin...

Saturday, April 16, 2011

Grow Baby Grow! --1--

Assalamu'alaikum calon bayiku... apa kabarmu hari ini, Nak? Semoga Allah senantiasa melindungimu, terus menerus membentukmu dengan bagus dan sempurna, memberikan kesehatan lahir batin padamu, menanamkan iman nan kuat di hatimu, memperlakukanmu dengan lemah lembut, memperindah nasibmu, melimpahkan rizki yang barokah kepadamu, dan kelak, saat sudah cukup bulan, Allah berkenan mempermudah proses kelahiranmu, Sayangku.

Nak, lihat! Rasa! Saat ini tangan kekar ayahmu membelai lembut perut mama, tempat kamu bernaung, Sayang. Lalu tangan itu mengusap rambut mama, penuh kasih sayang. Anakku, damaiiii rasanya kan? Sama, Nak! Mama juga. Merasakan ketentraman luar biasa.

Jika sudah begini, Sayang. InsyaAllah kita akan siap menghadapi kerasnya dunia. Menghadapi kesulitan yang selama ini mewarnai hidup kita, di sela-sela kemudahan yang Allah limpahkan untuk keluarga kita.

Sayang, makasih ya! Sejak awal kau di rahim mama, berbagai kejadian yang memerlukan tenaga, pikiran, kekuatan bahkan keberanian kita alami. Dari sejak perjalanan panjang kita pulang kampung untuk mengkhitankan Abang Thariq: sebuah perjalanan panjang nan melelahkan, prosesi syukuran khitanan Abang yang tiga hari berturut2 itu, kembalinya kita ke Johor: ke bandara, di bandara, di pesawat, di KLCC, bahkan sampai di perjalanan dalam mobil Dr. Samad yang sempat membawa kita ke Pahang, MasyaAllah! Alhamdulillah... kamu kuat, Nak!

Belum! Belum selesai. Di awal2 bulan kau di perut mama, ayah memberitakan bahwa Abang belum bisa ikut antar jemput bersama karena terlambat datang. Juga kabar bahwa beasiswa ayah sudah habis akhir tahun 2010, yang membuat kondisi tak lagi semudah masa sebelumnya, Nak! Saat itu, mama kuatkan hati ayah. Mama bilang, mama mohon doa agar mama selalu sehat dan kau kuat diajak bekerja, agar bisa membantu keuangan keluarga kita. Bismillah! Begitu tekad mama dalam hati, sembari membisikkan semangat padamu, Sayangku.

Maka selanjutnya, mengalirlah hidup kita. Lalu, ayah yang khawatir akan kondisi kehamilan mama yang payah, melarang mama nyetir.

Ayah pun memaksa memadatkan jadwal di tengah2 kesibukan menulis thesis. Tahukah kau, Sayang? Setiap pagi, ayah yang belum sempat tidur terburu2 mengantar abang dan kue-kue ke kedai. Sepulangnya, ayah baru tidur. Pukul setengah satu, ayah bangun, menjemput Abangmu, langsung berangkat menuju makmal. Hingga menjelang pagi, ayah kembali ke rumah dan melanjutkan pekerjaannya di istana kita. Belum lagi jika mama lemas tak berdaya, hingga memasak pun tak kuasa. Maka sorenya ayah datang, mengajak kita pergi makan keluar. Atau jika mama benar-benar tak berdaya, ayah akan datang dengan makanan siap santap di tangan. Tersita lagilah masanya, Anakku...

Dan begitulah sepanjang waktu, Nak! Betapa ayah juga berjuang demi kita. Semua ayah lakukan, karena ayah bilang, beliau ingin membuat kita sekeluarga bahagia. Ayah ingin nasib kita berubah, itulah makanya ayah bekerja keras hingga tak menghitung penatnya. Tubuhnya semakin kurus, wajahnya sayu karena kurang tidur. Astaghfirullah... Setiap melihat ayahmu, rasanya mama ingin membenamkannya dalam pelukan mama, agar ayah bisa beristirahat dari lelahnya.

Tekad ayah memang kuat, Nak, tapi fisik ayah tidak. Ayah bukan robot yang bisa diprogram untuk melakukan semua tanpa rehat yang cukup. Ayah pun jatuh sakit. Dan saat itulah, mama kuatkan lagi beliau. Mama bilang, insyaAllah bayi kita kuat diajak antar jemput abang dan hantar kue. Benar, Nak! Allah Yang Maha Perkasa memberikan kekuatan lahir dan batin itu pada mama, padamu, hingga bisa menjalani aktivitas dengan penuh kuasa. Banyak yang bertanya dengan nada khawatir. InsyaAllah niat kita baik kan, Sayang? Kita tidak mungkin membiarkan fisik ayah terdzolimi begitu rupa. Dan sekarang, Nak! kita semakin kuat. Melanglang buana ke mana kita perlukan. Biar ayah bisa lebih konsentrasi ke thesisnya.

Nak, mari... kita jalani ketetapan Allah untuk kita ini dengan hati lapang dan ceria. Agar susah menjadi mudah. Agar tangis berubah tawa. Biar ringan pikir dan rasa kita. Dengan kemurahan Allah, semua bisa kita lakukan, Sayang.

Kita doakan ayah yuk, Nak! Semoga Allah mempermudah langkah2 ayah dalam menyelesaikan studinya. Membukakan segala pintu kemudahan, hingga ayah dengan lancar dapat merangkai kata demi kata dalam bahasa asing itu, menjadi alinea... sub bab, bab dan selanjutnya, selesailah tugasnya. Semoga ayah dimudahkan untuk memenuhi targetnya, submit thesis bulan ini, aamiiin ya Rabb.

Kita harus percaya janji ALlah, bahwa malam tak selamanya bersama. Akan datang fajar, diiringi pagi nan cerah menyambut di depan langkah2 kecil kita. Bismillah...

Semoga, Allah mempertemukan kita dengan banyak kemudahan, sesudah kesulitan dan kesempitan ini, aamiiin...

Kabulkan pinta kami, ya Allah Yang Maha Pemberi Rahmah,

aamiiin...

Monday, March 14, 2011

Sepuluh Tahun Penuh Cinta

Alhamdulillah... 9 Maret tahun ini, tepat 10 tahun kami diikat dalam perjanjian agung nan suci. Sepuluh tahun lalu, lepas maghrib... saya berdebar menantikan kehadirannya yang tak kunjung jua, menepati janji masa kedatangannya. Harusnya, pukul 18.30 kami disandingkan di depan penghulu, diihadapan ayahanda saya sebagai wali dan saudara sebagai saksi. Sayangnya, kala itu... hingga waktu yang disepakati, Mas Satria tak kunjung datang. Kami cemas... khawatir... dan ada sedikit rasa takut dihatiku.

Melihat rautku, Bapak mendekat dan membisikkan sebuah kalimat penenang, "Nduk... sabar ya. Sampai akad dilafazkan, saat ini dia belum menjadi jodohmu. Jadi, jangan berharap penuh akan kehadirannya. Jika pun Mas Satria tidak datang, Ar harus tenang dan ikhlas..." Saya mengangguk. Antara yakin bahwa dia akan datang dan kebimbangan, saya menundukkan wajah. Beberapa kali mata saya tertuju pada jam dinding warisan buyut saya, yang berdetak manis di ruang tengah rumah kami.

Lima belas menit berlalu, tak juga ada tanda-tanda kedatangan sang calon pengantin pria. Bahkan hingga waktu beranjak setengah jam berikutnya. Astaghfirullah... saya beristighfar. Para tamu mulai tak tenang. Mereka saling bergumam.

Bersyukur kepada Allah, beberapa menit lepas pukul tujuh, datanglah sang calon mempelai pria seorang diri saja. Para saksi dari pihaknya sudah datang sedari tadi.

Mas memohon maaf. Rupa-rupanya, mobil kakak iparnya yang ia tumpangi pecah ban, di tempat sepi, di mana dia harus berjalan mencari taksi. MasyaAllah... betapa besar ujiannya untuk memenuhi janji.

Maka, akad pun segera dilangsungkan. Bapak menjabat tangannya erat, melafazkan barisan kata2 yang saya sendiri masih tak percaya itu atas nama saya. Dan Mas Satria *yang sudah berlatih sebelumnya, :-) * menjawab dengan lantang. Alhamdulillah, cukup sekali, kami dinyatakan sah menjadi suami istri. Saya cium tangannya dengan takzim...

Tangan kekar yang akan mengayomi hidup saya selanjutnya.
Tangan yang harus bekerja keras memenuhi segala kebutuhan dan keinginan saya dan anak2 saya kemudian,
Tangan yang juga demikian lembut, membelai rambut saya ketika saya hendak tidur.

Dan saya,
kini semakin menyukai... sentuhan lembut tangan itu di pipi saya, ketika saya terlelap.

Mas...
percayalah...
selelap apapun ar, selalu dapat merasakan sentuhan lembut punggung tanganmu, dipipiku...

I love U, Mas...
semoga Allah senantiasa mengikat hati kita, kemarin... hari ini, esok, selamanya... insyaAllah hingga di jannahNya, aamiiin...

Sunday, February 6, 2011

Lebih dekat dengan Zaki

Sejak hamil calon anak ketiga, aku merasa pengeeeennnnnnn banget lebih deket sama anak2ku. Karena Iq dah sibuk sekolah, maka Zaki lah yang kemudian menjadi sasaran empuk keinginanku. Dan, betapa begitu banyak tawa ia hadirkan di wajah mamanya ini... Zakiiiii, lucu banget ih!

Kisah 1
Sejak dua hari ini, aku mengajarkan Thariq menjadi imam sholat bagi Zaki. Tentu, Zaki makmumnya yaa... Maka, sholat pertam menjadi makmum, Zaki lumayan tertib. Meskiiiii, banyak pertanyaan keluar dari mulut mungilnya ketika si abang khusyu menjadi pemimpin di depannya.

"Maa... adik sukaaaaa sholat. adik ga suka main!" Aku mengangguk.
"Maa... kalau di sekolah adik, ruku'nya lamaaaa... di sini cuma bentar, hihihi..." Aku senyum.
"Maa... kenapa sih bilang aamiiin-nya harus kenceng?" aku mulai bingung cari jawaban.
"Maa... tangan adik dah ga nempel kalau sujud. ga kayak anjing lagi kan?" Aku mengangguk lagi.
"Maa... adik bisa al Fatihah, tapi ga boleh ikutan ya? Kenapa?" --iya, dengerin imamnya, jawabku--
"Maa... adik ga bisa duduk macam abang, ga pa pa ya kayak gini?" Aku mengangguk lagi.

Daaannn... ketika abangnya mengucap salam, Zaki pun dengan lantang menjawab, "Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuhu"

Jiaaaaahhhhhh... Zakiiiiiiiiiii....!!!!!!!!!!

Kisah 2
Sejak kecil Zaki terbiasa duduk di pangkuanku ketika aku berdoa. dua hari ke belakang, ia berdoa sendiri. Dengarlah doanya...
"Ya Allah... berilah supaya thesis ayah cepet selesai. Biar kami bisa beli rumah yang baru dan bagus. Bisa beli pemberubahan armorhero yang bisa nyala, bisa beli swing, bisa beli kucing, bisa beli sandal mama yang baru, bisa beli apa-apa aja yang bagus. Ya Allah, berilah supaya kami semua sehat dan mbah bisa pergi haji..."

Duuuhhhh, mama terharu dengernya. Dan ketika ayahnya diceritain tentang doa Zaki oleh mama, ayah tertawa... hahaha, kucingnya ga ketinggalan! begitu tanggapan si ayah, hihihi...

Kisah 3
Kami sedang duduk di tangga dekat playground. Tiba-tiba berdatanganlah orang2 Yaman bercadar melewati kami, sembari mengucap salam. Aku menjawabnya dan memberikan senyuman.
"Maa... kenapa sih orang-orang itu pake topeng?"
"Itu bukan topeng sayang, itu cadar!"
"Kenapa pake cadar?"
"Karena mereka orang Arab, itu budaya mereka," jawabku lagi.
"Untung mama bukan orang Arab yaa... jadi ngga perlu pake cadar. Eh... tapi harusnya mama pake cadar lahhh..."
Aku yang bingung dengan kata2nya pun bertanya, "Emang kenapa sayang?"
Jawabnya --sambil senyum tengiiilllll banget--, "Iyaaa... nanti orang bilang, loh... mana jerawatnya ga nampak!"
Zakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

---
Kisah 4
Seorang kawanku upload link ke youtube. lagunya Karimata: Rintangan...
Komentar Zaki:
"Maa... itu gambar adik baby di perut ke?"
"Bukan sayang, itu gambar tangan mama dan ayah"
"Mana tangan mama, mana tangan ayah?"
"Yang kecil tangan mama, yang besar tangan ayah..."
"Loh... ini tangan mama besar, bukan kecil!" --hahahahahaa... emang dah dari sononya deeee..--
Terus,
"Mana, itu kok yang tangan besar ga ada bulu2nya? tangan ayah ke?"
Hadeeeeeehhhhh adik, protes muluuuuu...

---
Kisah 5
Semalam Zaki tanya, "Maa... kapan ke rumah tante Lia lagi?"
Mama jawab, "Kita ga akan ke sana lagi sekarang2 de... Tante Lia mau pulang ke Indonesia."
Zaki manyun... marah. Tahu begitu mama langsung menjelaskan, biar dia ga berlanjut bad mood.
"Dee... tante Lia kan mau melahirkan adik baby di Indonesia."
"Tante Lia ga usah melahirkan adik baby laahhh... kan udah ada adik baby mama."
"Looohhh, tante Lia mau adik baby yang bisa tinggal di rumah tante Lia. Emang adik baby mama boleh diajak di rumah tante Lia terus?" Dia menggeleng. Cerita terputus...

Tadi pagi, dalam perjalanan menuju kandang kuda, selepas mengantar kue ke cafe mak Jah, dia bilang, "Mama... besok... besoknya... besoknya lagi tante Lia mau pulang ke Indonesia. Mau melahirkan adik baby. sekarang adik baby tante Lia baru 5 bulan..." Aku senyum... Hmmm, dah faham rupanya babyku satu ini... "Iya, sayangggg..." buru2 kujawab dan kuberikan senyuman paling manisss...