Thursday, June 17, 2010

Catatan Penjual Kue: III

Pagi yang cerah. Allah, semua akan bermula hari ini... Hamba memohon kemudahan padaMu. Turunkan bantuanMu dalam setiap desah nafas kami, aamiiin...

Hari-hari pertama di kolej perdana kulalui dengan suka ria. Kehidupan baru, lingkungan baru, kawan-kawan baru, dan pertemuan kami yang boleh dibilang kembali baru. Tak jarang kami terlibat dalam percekcokan karena kami merasa kembali beradaptasi. Banyak yang tak kuduga dan tak kuinginkan, mas lakukan. Hal-hal yang sepele memang, tapi cukup mengganggu pikiran dan hatiku. Di sini, aku benar-benar terjun menjadi seorang Ibu rumah tangga sejati. Sesekali kusempatkan menulis dan mengirimkannya ke eramuslim, dan Alhamdulillah diterima. Tujuannya satu, biar otakku terus berkembang, karena katanya, otak yang tidak diasah akan mati perlahan-lahan, hiiii... atut!

Tepat empat hari kami di sini, berita mengejutkan kembali kami terima. Mas harus mengikuti pra jabatan selama sebulan di Malang. MasyaAllah!Baru saja kami berkumpul di sini, sudah harus berpisah lagi. Ketakutan dan kekhawatiran pun bermunculan. Bagaimana nanti jika kami ada kesulitan di sini? Bagaimana mengantar Iq sekolah? Bagaimana belanja untuk makan sehari-hari? Kami benar2 akan ditinggal di sebuah negeri asing, yang betul-betul asing buat kami. Daerah ini bukan wilayah kekuasaanku di mana aku boleh bermain sesukanya. Aku pendatang baru di sini. Kalau anakku sakit? Aaaarrrrrrggggggggggggggggghhhh! Hatiku menjerit! Tapi apa boleh buat? Pra jabatan ini wajib hukumnya diikuti oleh Mas sebagai CPNS biar posisinya benar2 bisa disebut PNS. Aku menelepon orang tuaku. Mereka mendinginkan hatiku, menenangkan perasaanku. Mereka mengatakan, aku pasti bisa. InsyaAllah. Ok, akhirnya, aku terima tantangan ini.
Pagi itu, Mas menunjukkanku jalan menuju sekolah Iq. Berputar, cukup jauh dan berat buatku, seorang Ibu yang ke mana-mana harus menggendong bayi 9 bulanku. Tapi semua harus dijalani bukan? Maka, dengan sedikit merajuk, aku pun mengikuti rute yang ditunjukkan Mas. Berikutnya, kami pun diajak ke jusco. Membeli peralatan dapur dan belanja. Kembali kami berjalan hingga temukan taxi yang mengantar kami ke jusco. Kata Mas, biasanya ada bus yang bisa kita naiki dengan free. Tapi berhubung ini masa liburan, maka satu-satunya jalan bagi kami yang belum punya kendaraan ini, adalah dengan berjalan kaki. Beruntung jika ada kawan yang sejalur dan menawarkan kami untuk bersama. Jika tidak, sejauh apa pun ya memang harus jalan kaki. Pppffffiiiuhhh! Bisa-bisa jadi kesebelasan nih! Gerutuku. Mas cuma tersenyum.

Lalu, hari itu pun tiba. Mas benar-benar harus kembali ke Indonesia. Semalam, ia menitipkan kami ke kawannya, Pak Agung dan istri. Jika ada apa-apa, kata Mas jangan sungkan minta tolong ke beliau. Wedeww... baru juga kenal dah ngerepotin! Bukan aku banget!
***

Pagi yang sepi. Aku mulai disibukkan oleh urusan sekolah Iq: mengantar dan menjemput. Beruntung, aku punya seorang kenalan baru yang ternyata sama-sama tak punya kendaraan. Bu Abu namanya. Kami pun sering jalan kaki berdua, mengantar dan menjemput Iq dan Ahnaf. Begitulah. Allah Memang Tak Akan pernah membiarkan kita dalam kesulitan sendirian. Dia akan berikan kemudahan, entah berupa kawan untuk mendampingi maupun bantuan lain, yang awalnya kita tak pernah tahu. Terkadang, Bu Abu yang sudah banyak mengenal ibu-ibu di sini, diantar kawannya *yang akhirnya juga menjadi kawanku, he he* untuk menjemput anaknya. Dan aku, boleh nebeng! Alhamdulillah...
Dua minggu kemudian, dah ada bus yang lalu lalang. Maka pekerjaan jemput menjemput pun tak lagi seberat sebelumnya. Tuh kan, Allah berikan bantuanNya lagi, Subhannallah!

Suatu hari, ketika aku terlalu awal menjemput Iq, aku putuskan untuk duduk-duduk di bus stop yang letaknya agak jauh dari Tadika Ihsan. Di depan Padang Kawad, persisnya. Kulihat handphone, dan kudapati masih setengah jam lagi Iq keluar dari kelasnya. Beberapa saat kemudian, sebuah taxi mendekat. Nampak sang sopir adalah lelaki yang boleh dibilang sudah tua, lebih tua dari Bapak bahkan, berpeci putih dan berwajah cukup ramah. Beliau tersenyum dan menyapaku. "Sendirian?" tanyanya. Aku mengangguk, membalas senyumnya. "Awak duduk kat mane?" Aku yang baru tiga minggu di sini, bingung dengan pertanyaan beliau. "Apa?" Rupa-rupanya beliau faham bahwa aku bukan orang Melayu. Lalu beliau pun mencoba berbahasa yang aku mengerti. "Di Kolej Perdana, U8," jawabku. "Awak ikut orang mana? Melayu ker? Chinesse ker?" tanyanya kemudian. Ups! Agak kaget juga mendengar pertanyaan yang baru saja beliau lontarkan. Lalu aku melihat penampilanku. Rok panjang bunga-bunga, kaos lengan panjang warna biru, kerudung kaos dan sandal jepit! He he, pantas. Jika dikira aku sedang mengasuh dan menunggu anak pertama majikanku. Aku tersenyum sebelum menjawab, "Saya ikut suami, Pak." "Suami awak kerje kat mana? Pensyarah?" Beruntung aku sudah diberi tahu Mas, bahwa pensyarah adalah istilah yang sama dengan dosen. "Bukan, suami saya student." "Ooowwh, ambik master ker PhD?" "PhD, Pak. Alhamdulillah," jawabku lagi. Kemudian sang Bapak bercerita bahwa banyak orang Indonesia yang bersekolah di UTM ini. Sedangkan anaknya sekolah kedokteran di UGM, katanya. Subhannallah! Seorang sopir taxi bisa menyekolahkan anaknya di kedokteran Gajah Mada, Subhannallah.
Kulirik jam di handphoneku, lima menit lagi sekolah Iq usai. Aku pun pamit pada pak sopir. Kurapikan gendongan Zaki dan kami pun beranjak dari bus stop, meninggalkan Pak Sopir yang masih menyunggingkan senyum di bibirnya.

Siang itu, kami kembali berjalan pulang karena bus yang ditunggu-tunggu belum juga lewat.

Wednesday, June 16, 2010

Catatan Penjual Kue: II

Selepas perjumpaan membahagiakan itu, bisa diduga, moment-moment berikutnya pun penuh dengan senyuman. Makan siang bersama, dan perjalanan menuju Pudu Raya yang hiruk pikuk, masih dipenuhi dengan senyum. Dalam hatiku hanya ada satu kata syukur kepada Rabb Yang Maha Kuasa, atas perjumpaan indah ini, Alhamdulillah.

***
Setiap aku memasuki sebuah wilayah baru, setiap itu pula bermunculan perasaan yang tidak bisa dituliskan. Sensasinya hanya bisa aku rasakan. Sesuatu yang menakjubkan. Dan sensasi inilah yang membuatku merasa ketagihan dengan petualangan baru, menjelajah bumi Allah, hijrah dari satu tempat ke tempat berikutnya... Subhannallah! Hanya Allah dan aku yang tahu bagaimana rasa itu...

Sepanjang perjalanan menuju Johor, bibirku tak lepas dari senyum. Kekasih hati kini sudah disisi diri, dan kapan pun ia dapat kusentuh. Kulingkarkan lenganku di lengannya... kupandangi wajahnya. Pandangan kami beradu, dan kami saling tersenyum. Rabbana, terimakasih... Alhamdulillah...

Selepas Isya kami baru sampai di Sri Putri. Bernego dengan sopir taxi, kami pun diantar menuju sebuah rumah makan. Mas bilang, kedai ini milik seorang kawan *belakangan aku tahu, itu adalah kedai Pak Sugeng, he he... * dan pekerjanya pun banyak dari Tanah Air. Aku makan bakso, sedang anak-anak hanya minum. Panas! Johor lebih panas dari 3 tahun sebelumnya ketika aku berkunjung ke sini, semasa mas masih mengambil master. Pak Sopir makan, mas makan dan aku pun makan.

Setelah semua kenyang, barulah kami pulang. Menuju UTM pada malam hari, kembali kubuka lembaran2 memori yang sempat tertulis di otak dan hatiku. Kampus ini masih sama. Makin indah malah. tetap bersih seperti sebelumnya. Berputar-putar di jalanan UTM, lantas kami pun sampai di parkir U8. Waahhhhh! Apartemen tempat kami tinggal, insyaAllah. Kudongakkan kepala dan kulihat ujung bangunan dengan mataku yang mulai mengantuk. Kami pun menuju lift dan setelah menekan angka 6, sampai juga di lantai 7, he he... sedikit membingungkan memang, karena lantai 1 dianggap ground...

Kami memasuki ruang 704 di wing B. Subhannallah! luasnya hampir sama dengan rumah kontrakan kami di Cinunuk Indah. Kujelajahi setiap ruangan dengan mengucap salam. Dapur: masih kosong. Hanya ada wastafel dan laci-laci yang juga masih kosong. Gudang, kotor... lantainya pun kotor. Aku masuk ke kamar utama: tempat tidur ukuran Queen, lemari pakaian yang cukup besar serta meja rias lengkap dengan cermin dan kursi empuknya. kamar anak-anak, diisi dengan tempat tidur single, lemari pakaian yang lebih kecil dan jendelanya dilengkap dengan tralis. Mungkin demi keamanan anak-anak. Tapi anak-anak kan masih bobo denganku, jadi... harus dicari pengaman biar mereka jauh dari jendela lebar nan tinggi yang begitu mudah dibuka, dan tentu mengerikan karena langsung terhubung dengan dunia luar dan tanah nun jauh di bawah sana, hiiii...
Aku kembali ke ruang depan. Sebuah ruang tamu lengkap dengan kursi-kursinya... horden dan pintu kaca yang bila dibuka menghubungkan ruangan dengan balcony, tempat kami boleh memandang ke luar... pemandangan lapangan futsal dan barisan pohon sawit di bukit seberangnya. ups! Ada juga meja makan, lengkap dengan 6 kursi kayu.

Aku pun mulai berbenah. Mengeluarkan barang0barang bawaan dan merapikannya: baju dimasukkan ke dalam lemari, panci-panci dijejer di dapur, beras dimasukkan ke dalam wadah... dan begitu seterusnya. Setelah selesai, baru aku membersihkan diri, di kamar mandi. Yaa... ternyata kamar mandi ini cukup modern. Tak ada bak mandi, kecuali yang berwarna merah dan kata Mas baru dibelinya. Di dalamnya ada gayung yang juga merah., *uhmmm... mas suka warna merah ya?* Ada kran air, wastafel dan shower... aku pun mandi... segaaaarrr, setelah perjalanan panjang yang menyisakan keringat dan lengket di badan.

Catatan Penjual Kue: I

Tiga tahun lalu, aku datang ke negeri ini dengan satu tekad: menjadi penjual kue. Niatan kuat itu muncul dari percakapanku bersama Bapak, selama hampir empat bulan kami transit di Malang selepas resignku dari kantor tercinta. Selama itu juga, hampir tiap hari Allah memberiku kesempatan untuk berbincang bersama Bapak, lelaki perkasa yang selalu menginspirasiku. Dalam banyak kesempatan, Bapak meyakinkanku bahwa aku berbakat dalam hal kulinari. "Masakanmu enak, Nduk. Kue-kue buatanmu juga sedap," begitu pujian Bapak yang diam-diam memompa kepercayaan diri dan semangatku. Ditambah dengan sakit hati yang aku rasa ketika anak-anakku tidak bisa membeli snack atau mainan seperti ketika aku bekerja dulu, maka azzam ini makin kuat menghujam di nuraniku.

***
Pagi, menjelang Subuh, 27 Juni 2007.
Kami: aku dan dua putraku bersama Bapak, Ibu, Mami dan Kholis dalam sebuah mobil menuju Bandara Juanda, Surabaya. Degup jantungku menandakan kebahagiaan bercampur kesedihan yang tidak bisa digambarkan, hanya bisa dirasakan. Aku bahagia karena insyaAllah, inilah waktu yang Allah pilihkan setelah sekian lama kami berada dalam penantian, menuju waktu perjumpaan kami dengan si Ayah. Pun aku sedih tiada terkira, karena harus kembali menjauh dari keluarga besar tercinta. Harus kembali mendengarkan suara Bapak dan Ibu tercinta hanya dari telepon. Harus kembali jauh dari dua adikku dan keluarganya yang sudah mulai akrab lagi setelah perpisahan yang demikian panjang. Tapi inilah dunia, fana nyatanya. Tak ada yang abadi didalamnya. Perjumpaan... perpisahan, semua adalah dinamika yang harus kami lalui, tanpa boleh banyak air mata, karena memang tiada berguna. Dan sejak hijrahku ke kota kembang tahun 1999, perjumpaan maupun perpisahan adalah sahabat terbaikku.

Setelah melewati daerah Sidoarjo yang masih bergumul dengan masalah pekatnya lumpur lapindo, kami pun sampai di Juanda. Beberapa saat kemudian, Rikha dan de Ujar serta dua ponakanku yang smart datang menyusul. Aku terharu. Allahku! Begitu indah rasa kasih sayang yang Engkau sematkan dalam hati kami. Bantulah kami meneruskannya kepada anak cucu kami, agar mereka pun dapat merasakan keindahan yang sama, seperti yang kami rasakan, aamiiin...

Beberapa saat menjelang check in.
Aku berpamitan dengan Bapak dan Ibu untuk pergi ke dalam, guna melakukan proses check in. Setelah mengikuti prosedur dengan membayar Fiskal sejumlah 1 juta dan mengisi surat bebas fiskal untuk kedua buah hatiku, aku pun antri dengan rapi, di barisan yang telah ditentukan. Sampai pada giliranku, aku menyerahkan paspor dan surat dari bea cukai. Begitu kagetnya aku karena ternyata adalah masalah dengan tiket pesawatku. Aku yang ke Malaysia tidak membawa calling visa, diwajibkan membeli tiket return *tiket PP Sub-Senai* dengan jangka waktu paling lama dua bulan. Aku ngotot mengatakan bahwa di Johor ada suamiku yang sedang bersekolah, dan aku tidak mungkin pulang cepat. Petugas kembali menjelaskan sedangkan aku semakin ngotot. Namun akhirnya aku harus kalah oleh peraturan yang sudah dibuat. Aku harus membeli tiket balik dari Johor kembali ke Surabaya, sebelum akhir Agustus. Sedihnya... Maka aku pun berlari ke luar. Alhamdulillah, Allah Maha Mengetahui. Di luar ada mas Dede, calon suami Mbak Mal, calon menantu Mami. Belum sempat berkenalan, aku pun bergegas bersama mas Dede menuju bank tempat beliau bekerja untuk menukar uang. Sejumlah uang aku tukar demi mendapatkan rupiah untuk membeli tiket yang dimaksud. Tak lama kami pun berlari menuju loket Air Asia untuk membeli tiket pada pertengahan Agustus. Alhamdulillah, meski penuh kepanikan, akhirnya urusan ini selesai dan aku bisa check in, menjelang loket ditutup. Maka, pamitan kami pun menjadi ala kadarnya. Kupeluk Ibu dan Mami... kucium tangan Bapak dengan ta'zim... kupeluk adikku satu-satu, kujabat tangan iparku, dan kuciumi kedua ponakanku dengan linangan air mata. Satu pesan Bapak yang harus aku ingat dan aku sampaikan kepada suami dan anak-anakku: jaga sholat kita! InsyaAllah, Pak!

Setengah berlari aku, dengan membawa tas, menggendong Zaki dan masih menenteng baby bag, masuk kembali ke dalam ruangan bandara. Diantar mas Dede kami pun naik ke atas. Setelah membayar airport tax, mas Dede membantu mengisi form imigrasi, dan mengantar aku duduk di ruang tunggu. Kini yang kurasakan hanya bahagia. InsyaAllah, kami akan berjumpa dengan si Ayah...
Setelah melalui beberapa prosedur berikutnya, kami pun kini sudah berada di pesawat. Kuhela nafas panjang-panjang. Alhamdulillah, kami sampai di titik ini, Rabb..

***
Perjumpaan dengan kekasih hati selalu menyisakan kebahagiaan tak berujung.
Pun perjumpaan kami dengan si ayah. Sementara aku masih sibuk mencari tas dan barang2 di bagasi, Mas melambaikan tangannya kepada kami. Iq nampak malu dan kebingungan, begitulah ia selalu. Ia pun berlari menuju sang ayah. Setelah aku mendapatkan semua barang dan melalui imigrasi serta bagage check, aku pun bergegas menuju mereka. Kami berpelukan. Damainya saat itu... Sementara Zaki bengong, mungkin ia bingung, siapa lelaki yang begitu merasa akrab dengannya itu, he he...

Turkey

Alhamdulillah... rasanya tidak berhenti kebahagiaan di hati ini melihat senyumnya. Rencana kepergiannya ke Turki untuk menghadiri sebuah konferensi internasional membuatnya lebih bersemangat akhir-akhir ini. Dan aku, istrinya, begitu bangga dengan perjuangannya yang tiada henti, hingga papernya diterima di konferensi bergengsi tersebut. Alhamdulillah, Ya Rabb... insyaAllah inilah jalan yang telah Engkau pilihkan buatnya, kekasih hatiku. Setelah sebelumnya ia bekerja tiada lelah menyelesaikan paper plus pekerjaannya sebagai student, juga setelah doa-doa panjang kami.

Selama ini, aku selalu berdoa agar suamiku mendapatkan jalan terbaik sehubungan dengan hal ini. Jika Allah anggap ke Turki adalah yang terbaik buatnya, semoga dimudahkan... sebaliknya, jika ini bukan jalan terbaik untuknya, semoga diberikan ganti yang lebih baik. Dan Alhamdulillah... semuanya lancar.

Mulai pembuatan paper, pengurusan visa hingga pembelian tiket. Semoga berikutnya, perjalanan mas dan Prof juga akan dimudahkan, digangsarkan... dinyamankan. Lantas, proses konferensinya juga dimudahkan dan diberikan kesuksesan... hingga dapat pulang kembali ke pelukan kami dalam keadaan selamat, sehat dan bahagia, aamiiin ya Rabb...

Makasih Ya Allah...
semoga pengalaman baru ini, dapat meningkatkan kepercayaan diri suamiku... dapat menambah ilmu, pengalaman dan wawasannya, demi kemajuan agamaMu, aamiiin...

*Mas, U make me proud... as always! sukses ya Sayang, doa kami di nadimu! :)

Saturday, June 12, 2010

I'll always step behind U, Hun!

Siang yang panas. Kami berdua sedang di dapur. Masing-masing dengan handuk di pundak, saling mengklaim untuk mandi lebih dulu. Si Mas beralasan hendak ke makmal sedangkan aku harus mengambil lauk di kawan. Tiba-tiba aku ingat bahwa tadi pagi ada sms masuk dari seseorang yang kuyakini adalah pimpinan mas di tempat kerjanya di Indonesia.

Tak lama aku dengar mas melakukan percakapan dengan sang mantan pimpinan *mantan karena sekarang tidak lagi menjabat*. Lalu kami pun berbincang sesudahnya. Tentang isi percakapan, tentang situasi dan kondisi di kantornya, tentang semua... sampai akhirnya, keluarlah perkataan yang begitu menyakitkan hatiku. Aku baru tahu kalau selama ini suamiku menyimpan sakit hati yang begitu dalam. Aku sendiri tak berani menyebut kata-kata seorang pimpinan sebuah perguruan tinggi berbasis Islam itu di sini *saking tak sopannya*. Lalu aku pun menelisik, bagaimana reaksi kekasihku itu ketika ia pertama kali mendengar bahasa tak pantas itu. Ternyata ia begitu menurut dengan sang mantan pimpinan, untuk berdiam diri saja, apapun yang akan dihadapi.

Astaghfirullah... aku sendiri tak bisa menjamin agar dapat terus menahan bicara ketika harus menghadapi situasi yang sama. Astaghfirullah... Rabb, Engkau adalah Dzat Yang Maha Melihat, Maha Mengetahui... Engkau Paling Memahami. Hati suamiku sakit Tuhan... Hamba pun ikut merasa kehancurannya. KepadaMu lah kami serahkan permasalahan ini Rabb... Jika kami berniat membalas dengan perbuatan buruk serupa, niscaya kami akan dapatkan dosa. Sebaliknya, jika kami harus melupakan rasa sakit hati ini, kami belum lagi mampu. Maka, kami serahkan, balasan terbaik untuk orang yang bermulut pedas dan berhati keras... yang sudah melukai hati suamiku demikian rupa, juga telah menabur permusuhan dengan banyak orang di kantornya. Engkau sebaik-baik penjaga Tuhan... jagalah kami dari kedzalimannya, aamiiin...

*Sayang...
mungkin inilah hikmah dari kegagalanmu mendapatkan beasiswa dari negara kita. Bahwa Allah ingin menunjukkan, bahwa keberadaanmu di sini bukanlah untuk bersenang2 seperti yang orang itu sebutkan. Dan, ia, tak boleh menuntut terlalu banyak padamu, karena mereka tak berbuat apa-apa... tak memberikan kontribusi apapun terhadap prosesmu melanjutkan pendidikan ini.
Maka sayangku, ambillah langkah terbaik menurutmu untuk karirmu, juga bagi kita dan keluarga kita... InsyaAllah, aku akan selalu memberikan support terbaikmu buatmu, Mas...
terus berjuang ya... terus semangat. Cinta dan doa kami ada di nadimu... luv U Hun!

Friday, June 11, 2010

Zaki: Terima kasih atas Perubahanmu Nak

Zaki, yang sejak 7 bulan praktis tinggal bersama mama *just mama & Abang* tumbuh membesar tanpa banyak merasakan sentuhan ayah. Perpisahan sementara yang memang harus kami jalani, membuat keluarga kami kesulitan untuk hidup bersama. Zaki, bersama mama yang sudah resign dari kantornya, lebih sering tinggal di rumah. Berbeda dengan si abang yang sejak 2 bulan sudah berkelana tiap hari keluar rumah, ngikut mama kerja di kantor, Zaki selalu ada di rumah. Begitu seterusnya, sampai ketika kami bertiga ditakdirkan Allah untuk menyusul ayah di Johor ini, Zaki senantiasa bersama mama. Ayah yang meski dekat di mata, nyatanya juga masih belum bisa sepenuhnya dekat di hati karena kesibukan beliau. Setiap detik dilalui Zaki bersama mama. Abang pun mulai sibuk sekolah.

Maka, ke mana mama pergi, ke situ pula Zaki turut.

Kehidupan mama di sini jauh berbeda dengan mama di Bandung. Jika di Bandung mama adalah seorang wanita bekerja, seorang asisten direktur yang harus supel berhubungan dengan siapa saja, perempuan bahkan lelaki, di Johor komunitas mama adalah ibu-ibu dan mbak2 student. Alhamdulillah... semuanya memang patut disyukuri karena insyaAllah hijrah ini menuju kebaikan. Tapi ternyata, ini membawa perkembangan berbeda antara Iq dan Zaki.
Iq yang juga tak jarang diajak mama ke kantor jika sang pengasuh berhalangan datang, tumbuh menjadi anak yang supel. Ia ceria. Sering bercerita. Tak takut dengan siapa pun termasuk orang yang baru dikenalnya. Dunia baru adalah sebuah hal yang menakjubkan baginya. Namun Zaki, dengan latar belakang kehidupan baru mama, ia tumbuh menjadi anak yang sedih kurang percaya diri. Ia selalu berlindung pada mama. Tak suka dengan lingkungan baru. Ia, selalu ingin pulang jika mama berada di rumah tetangga atau kenalan. Zaki lebih nyaman di rumah saja. Bermain sendiri atau hanya berkawan abang. Ia pun agak egois. Ia tidak suka berbagi mainan atau makanan dengan kawannya, seperti yang dulu abangnya lakukan. Ia menarik diri dari permainan kawan2 sebayanya. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ia takut dengan laki-laki!!!

Mama sedih dengan perkembangannya. Mama sangat prihatin dengan kebiasaannya memukul kawan yang meminjam mainannya atau meminta makanannya. Dan mama tidak mau ia terus-terusan menjadi penakut. Maka mama pun beberapa kali meminta ayah untuk mengajaknya bergaul dengan para bapak, kawan si ayah.

Begitulah. Pada beberapa kesempatan, ayah ajak putra keduanya itu ke komunitas bapak-bapak. Apa yang terjadi? Zaki murung di tempat itu. Ia takut. Ia cemas. Ia sama sekali tidak nyaman dan selalu merengek minta pulang. Kalau ayahnya bilang urusan belum selesai, maka ia akan diam begitu rupa dengan ketakutan yang sangat. Ya Allah... Bantulah kami untuk membantu Zaki menjadi anak yang ceria... yang supel, yang bisa berbagi, yang tidak suka memukul kawannya.

Beberapa bulan kemudian.
Zaki lebih suka memukul abangnya. Tak jarang abang menangis saking sakitnya. Abang pun seringkali dilempar. Ya Allah, jagalah tangan Zaki dari memukul dan melukai abang dan kawan2nya, pinta mama dalam setiap doa. Zaki yang kurus tinggi ternyata garang. Mama makin sedih.

Sampai akhirnya, Zaki masuk usia 4th. Di Johor, anak seusianya ia boleh masuk TPA. Lalu mama dan ayah sepakat untuk memasukkan Zaki ke TPA. Hari pertama, kedua, ketiga, ia menanagis... *baca Hari Pertama Zaki ke Sekolah*, Alhamdulillah... sesudah itu, ia tak lagi menangis. Meski begitu, mama belum bisa berbangga hati karena Zaki seperti ketakutan di sekolah. Ia merasa tidak nyaman. Ia tak berani bermain seperti kawan-kawannya karena takut Cikgu marah dan takut dirotan. Ia selalu berwajah tegang ketika mama menjemputnya.

Subhannallah...
Alhamdulillah...
Allahu Akbar!

Kini Zaki berubah hampir 180 derajat.
Ia tak lagi pelit dengan kawan, ia bisa berbagi mainan dan tak lagi suka memukul.
Ia bisa bermain bersama abang + kawan-kawannya yang begitu banyak tanpa kesulitan beradaptasi.
Ia juga nyaman ketika mama ajak ke tempat kenalan yang kebetulan ketempatan ta'lim ibu2.
Zaki sekarang adalah sosok yang ceria, meski kadang sifat garangnya masih keluar juga *mama harus terus ngingetin*
Zaki juga tak lagi penakut, malah ia lebih berani dari si abang.
Ia sudah berani ditinggal mama untuk antar kue dengan catatan ia melakukan aktivitas yang lebih menarik hatinya.
Zaki pun tak lagi takut bapak-bapak. kemarin ada pengajian bapak2 di rumah, ia berani menunjukkan kepandaiannya menggambar *two tumbs up!* dan mempromosikan es buatan mama: enak, katanya kepada Ust. Wahid, he he he...

Dan yang lebih mengharukan, Zaki sekarang dah pinter baca Iqro. Tiap hari ia selalau belajar... sekarang dah sampe da... Alhamdulillah Rabb, Engkau balikkan sifat anakku menjadi sedemikian bagus sekarang.

Semoga kelak, Zaki dan Abang Iq bisa menjadi orang yang shaleh, yang sehat, cerdas, sukses dunia akhirat, aamiiin...

Wednesday, June 9, 2010

Latihan Vokal

Punya anak umur 8 dan menjelang 4 tahun rupanya memerlukan keterampilan khusus. Kemampuan bersabar harus ditingkatkan. Jika tidak, tiap hari harus berlelah-lelah untuk latihan vokal. Yups! Teriak sana teriak sini, sampe kering tenggorokan. Mending hasilnya jadi pinter nyanyi, yang ada suara habis, kepala pusing dan hati panas. Maka, untuk menghindarinya, satu-satunya cara adalah bersabar dan memahami mereka.

Umur 8 tahun, si abang menjadi sosok yang berbeda dengan sebelumnya. Ia tidak mau mengalah dengan adiknya *mungkin karena seringkali menjadi pihak yang dikalahkan??? who knows?* sementara si 4 tahun tak mau kalah. Dua sifat yang tak akan pernah bertemu dalam satu kesepakatan. Maka, jika sebelumnya sang mama harus berlatih vokal tiap hari, belakangan mama merasa itu tak lagi perlu. Jika mereka mulai 'beradu' yang mama lakukan adalah mendatangi mereka, memandangi satu-satu dan dengan suara pelan berkata, "Nanti kalau dilanjutkan bisa berbahaya. Adik yang celaka atau Abang, dua-duanya anak mama, dan yang sedih adalah mama. Adik Abang ngga mau mama sedih bukan?"

Cara ini ternyata lebih efektif daripada teriakan dan bentakan, apalagi dilanjutkan dengan cubitan yang kemudian malah akan meninggalkan penyesalan mendalam di hati mama.

Ah Rabb...
bantulah hamba untuk melipatgandakan kesabaran di hati hamba,

pinta sang mama kepada Rabbnya...
Mama tahu, Allah adalah pemilik dua jundinya. Allah paling tahu, bagaimana cara melunakkan hati para putra tercinta... dan menumbuhkan sifat kasih sayang kepada saudara di hati mereka, insyaAllah, aamiiin...

luv U kids... 'bisik sang mama'

Monday, June 7, 2010

Lelaki Itu

Bus Pahala Kencana: Malang-Bandung

Siang yang sibuk di terminal Arjosari. Sepekan setelah lebaran adalah waktu yang banyak dipilih orang untuk kembali ke aktivitasnya. Kembali ke tanah rantau, mencari nafkah, menggali pengalaman. Hari itu juga dipilih oleh seorang gadis berkerudung. Diantar oleh Bapak, Ibu, adik-adik serta beberapa saudara, sang gadis duduk di bangku tengah bus. Sisi jendela adalah tempat favoritnya, karena posisi itu memungkinkan ia untuk dapat melambaikan tangan ke arah orang-orang tercinta. Wanita 24 tahun itu sibuk menata hati. Begitulah, setiap kali ia harus berangkat ke propinsi lain, ia akan selalu menangis. Sebelum merantau, ia adalah anak mama. Yang sama sekali tidak pernah bepergian sendiri tanpa kawalan sang Bapak tersayang. Maka tak heran jika perpisahan dengan anggota keluarga adalah saat-saat yang amat berat buatnya. MEski sudah beberapa kali ia pulang pergi Malang-Bandung, tempat ia merantau, tapi tetap, air matanya akan luruh begitu bus beranjak dari parkirnya. Pun saat itu. Lima menit menjelang bus meninggalkan Malaang, Bapak naik ke atas bus. Memberikan doa dan nasehat terbaiknya untuk sang putri, lantas sang gadis pun mencium tangan Bapaknya dengan ta'zim. Lima menit berikutnya, lambaian tangan dan derasnya air mata menghiasi perpisahan sementara itu. Doa-doa untuk orang-orang tersayang ia lantunkan dalam hati. Ia bermohon pada Tuhannya agar dapat kembali berjumpa dengan mereka. Dan kenangan manis pun tersaji dengan indahnya di pelupuk mata.

Tiba-tiba sebuah sapaan membuyarkan lamunannya.
"De, turun mana?"
Setelah menyeka air mata, perempuan itu pun menoleh ke arah suara yang dimaksud.
"Jatinangor," jawabnya singkat.
"Ehm... masih kuliah ya? Di mana?" pemuda itu kembali bertanya.
"Dah kerja." Ups, bukan judes, tapi ia ia memang sedang tak ingin diganggu.
"Kerja di mana?"

Uuuhhh! Sebel, nanya mulu, bisik gadis dalam hatinya. Setengah berbisik gadis menyebutkan NGO tempat ia bekerja.
Pemuda itu terus saja bertanya... dan gadis pun ketus menjawab. Sampai akhirnya, hati gadis tak tega dengan kebaikan sang pemuda lalu ia pun berbasa-basi, "Mas kerja di mana?"

Lelaki itu menjawab tempat bekerjanya. Sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang satu-satunya di Tanah Air. Mata sang gadis berbinar. Ia ingin sekali mendapat cerita tentang proses pembuatan pesawat terbang dan seluk beluk pekerjaan sang pemuda. Maka serasa mendapat angin, sang pemuda pun semangat bercerita. Terus... terus... dan terus... sampai akhirnya sang gadis tertidur karena lelah. Bagai dininabobokan... *to be continued*

Sunday, June 6, 2010

Sambel Tempe

Tunggu! Ini bukan tentang cara membuat sambel tempe yaa... tapi tentang cerita pagi kemarin. Hari Ahad adalah hari wajib kembali tidur setelah shalat subuh, he he... *ups, jangan ditiru yaa...*. Bangun kesiangan karena perut lapar, itu adalah cerita berikutnya. Maka, langkah kami berdua mantab *pake b, saking mantepnya, hihi* menuju dapur. Sementara langkahku tertahan depan kulkas, tangan mas cekatan menyalakan kompor. Mengambil tempe dari kulkas, memotongnya... dan hampir saja dimasukkan ke minyak. "Eits, tunggu! Dikasih bumbu dulu, Ayah... Sini, aku buatin," cergahku sembari mengambil mangkuk. Kuisi sedikit air, ditambah garam satu setengah sendok teh, plus bawang putih keprek sebiji. Mas memasukkan tempe ke dalam bumbu dan melemparkannya ke dalam minyak! "Waaaaahhhhhh, siniiiii" kataku lagi. Aku pun mulai bertugas menggoreng tempe.

Mas tak tinggal diam. Dia mengambil cobek + ulekannya, mengambil satu siung bawang putih dan dua butir cabe rawit kemudian memasukkannya ke dalam minyak tempat tempe digoreng.
Sebentar kemudian, tangannya dah sibuk mengulek sambal dan memenyet tempe dengan sambalnya. Lalu tanpa basa-basi, kami pun makan bareng.

Hmmmm... menu sederhanaaaaaaaaaaaaaa, tapi dalem kesan. andaiiiiii tiap pagi begini, senengnyaaa...

Tapi hidup tak selamanya bisa bersantai. Yang seringkali kami temui adalah kesibukan. Dia dengan sekolahnya... tugas-tugasnya: paper, jurnal, thesis... dan aku, dengan dapur, pesanan kue, anak-anak...

Rabb, bantulah kami menjadi hambaMu yang shaleh shalehah... dan masukkan kami ke dalam Syurga IndahMu... agar kami bisa menikmati masa-masa santai kami di sana, nanti... aamiiin.

*semangaaatttt: ibadah... ibadah! semua niatkan untuk ibadah, dan semoga dikumpulkan di jannahNya, aamiiin ya Rabb*