Sunday, November 9, 2008

Nak Balik Kampong...!

Alhamdulillah. Rasanya itu tak cukup kami ucap manakala Dr. Asri, co-supervisor si ayah menelepon dan menyatakan bahwa tiket balik sudah dipesan. Senangnya hati kami.

Maka, aku pun segera menyusun jadwal. Persiapan menuju ke sana dan selama di sana. Tak lupa mencatat barang2 yang akan dibawa, rencana yang akan dibeli di Indonesia, kue yang dibeli untuk oleh2, kue yang dibuat untuk oleh2, kue yang akan dibuat di Indonesia... Ups! kue melulu ya... dasar tukang kue.

Ternyata, tanggal 23 Nopember (hehe, pake 'p', bukan 'v' loh! kata Bang Yuzri, Direktur ku dulu di LAPENKOP...), sudah tak lama lagi. Dua minggu lagi. Sedangkan kami belum beli buku Iq. Belum siapkan apa2... belum bersihkan rumah. Seterikaan juga masih numpuk, akibat sibuk buat kue, hehehe...

Malam tadi, aku sms Ibu tercinta. Mohon doa biar rencana ini lancar dan kami bisa selamat sampai tujuan dan kembali dengan selamat. Tadinya sih aku pengen buat kejutan. Tapi, pengalaman memberi kejutan serupa beberapa tahun silam membuat aku mengurungkan niatku. Waktu itu, aku yang lagi hamil anak kedua (ternyata de Karim ya di perut mama hehehe...), memutuskan untuk memberi kejutan. Maka kami pun berangkat ke malang, dari bandung dengan naik kereta api tanpa memberi tahukan kepada orang tua. Namun sepanjang perjalanan, ada saja kejadian yang hampir membuat kami celaka. Mulai dari kereta yang tiba-tiba berjalan padahal kami sedang menyeberang... kereta yang ujug-ujug berjalan padahal kami belum turun semua... kereta yang lambat datang da

Peniru Ulung si Abang

Yup! Jangankan tingkah laku abang, setiap kata yang keluar dari mulut abang, pasti ditirunya. Abang bilang, "Adoi!" ia menirunya. Abang melompat, ia turut melompat. Abang berlari, ia juga. Abang bergaya bak ultraman, ia ikut serta. Berteriak, menggerakkan tangan dan kepala, persis si abang.

Ah...
Dan senyumku senantiasa mengembang mengikut perkembangan mereka.
Alhamdulillah...

Permata Hatiku

Ia memang berbeda dengan abangnya. Lingkungan yang ia terima saat ia masih kecil, dengan lingkungan tempat abangnya tumbuh juga jelas berbeda. Abangnya besar bersama sang Ibu, pengasunya. Sedangkan, ia, Karim kecilku, tumbuh sepanjang hari bersamaku. Kuurus ia sendiri, kujaga ia... kuajak ia bermain, membantu pekerjaan domestikku. Kuajak ia mengantar jemput abangnya, mulai dari jalan kaki... naik motor, hingga ketika Allah memberi kemurahan rizki pada kami sampai kami mempunyai mobil.

Ia dengan setia mengikuti ke mana aku pergi. Namun rupanya, aku tak bisa memaksimalkan waktu bersamanya. Aku sering kelelahan sehingga seringkali tak bisa memenuhi keinginannya untuk bermain bersama. Menyuapinya saja seringkali kulakukan dengan buru2. Kuajarkan ia untuk mandiri, jauh lebih awal dari yang seharusnya ia lakukan. Belum genap dua tahun usianya, ia sudah bisa meminum sendiri air putih dari gelasnya. Meminum susu dari botolnya sendiri, meletakkannya di meja dan bermain sendiri.

Sampai suatu ketika, aku tersadar. Bahwa ia, permata kecilku, seratus persen bergantung kepadaku. Aku adalah ibunya, tempat ia menyandarkan ingin di hati. Aku harus menjadi lebih sabar menhadapinya. Aku harus mengajarkan banyak hal di masa periode emas tumbuh kembangnya.

Alhamdulillah, kesadaran ini muncul sebelum terlambat. Dan tadi pagi, kumulai lagi pelajaran matematika untuknya. Ia, adalah manusia yang sama istimewanya dengan bayi2 istimewa lainnya. Dan ia menunjukkannya kepadaku tadi pagi. Ia begitu antusias belajar bersamaku.

Maafkan mama sayang...
berdoalah, semoga mama selalu bisa memberikan yang terbaik untukmu...
aamiiin...

Cahaya Mataku

Kemarin. Ahad, 9 Oktober 2008, kami menghadiri majlis konvokesyen Iq. Layaknya seorang wisudawan, Iq dan kawan2nya dari tadika ihsan begitu berseri wajahnya. Sepanjang jalan, ia bercerita. Untuk acara yang dimulai pukul 9 pagi itu, rencananya, ia ditugasi untuk membaca ayat suci Al Qur'an, sebagai pembuka acara. Ayat kursi adalah pilihan Cik Gu-nya. Beberapa hari sebelumnya, saya sengaja melatihnya, seperti yang diminta para Cik Gu. Supaya suaranya lebih lantang dan supaya keberaniannya keluar. Ada sedikit rasa ragu di hati saya, khawatir, takut ia menjadi demam panggung dan malah tak bersuara nantinya. Maka, setiap kali pikiran itu muncul, segera saya berlindung kepada Allah, mohon kemudahan baginya.

Malam sebelumnya, saya sempat bertanya. "Iq takut ngga kalau nanti ramai orang?" Dengan lantang ia jawab, "Ngga! Kenapa takut Ma? Iq berani!" Senyumnya pun mengembang. Ah, semoga saja benar, ia berani sampai saat yang dinanti tiba.

Maka, saat itu pun tiba. MC membacakan senarai acara dan Iq pun diantar Cik Gu Rumini ke atas panggung. Bersama kawannya, Aneeza, yang bertugas sebagai saritilawah, ia duduk dengan tenang. Wajahnya tidak nampak tegang. Malah saya yang dag dig dug sendirian.
Lantas, ia pun mengucapkan salam kepada seluruh hadirin, dan membaca ayat kursi. Lantang, jelas mahroj dan tajwidnya. ia juga tenang. Subhannallah... Alhamdulillah... Allahu Akbar!
Hati saya memuji kebesaran-Nya. Air mata saya menetes begitu saja. Haru, bahagia...

Ya Allah, begitu istimewanya ia. Anak yang Engkau titipkan kepada kami. Bantulah kami agar senantiasa bisa memenuhi segala kebutuhannya, segala harap dan inginnya. Bantulah kami untuk bisa mendidiknya dengan baik. Jagalah fitrahnya.
Engkau telah menanamkan keberanian di hatinya, bantulah kami mengembangkan bakat alaminya, dan jauhkan kami dari perbuatan sia-sia yang dapat merusak potensinya, aamiiin...

Dan satu lagi, Rabb...
Jangan biarkan hati kami, kedua orang tuanya, tersusupi sedikit saja rasa sombong karena keberhasilan yang diraihnya. Jadikanlah kesuksesannya sebagai sarana untuk kami bisa lebih mendekatkan diri kepada-Mu, aamiiin...

Tuesday, October 7, 2008

Kritik Itu Indah

Suatu pagi, selepas mengantar kue-kue, saya terisak. Sembari memacu mobil dengan kecepatan sedang, saya seka air mata yang terus menerus jatuh, tak mau berhenti. Kalimat pemilik kedai, bahwa kue saya kurang bagus membuat hati ini tersayat dalam. Sakit! Perih! Entah kata apa lagi yang harus saya ungkapkan, untuk menyatakan rasa pilu hati saya.

Sebenarnya, saya ingin membantah kalimat pemilih kedai tadi. Saya ingin mengungkapkan, bahwa pemilik kedai lainnya, menerima kue saya dengan sangat baik. Bahkan pesanan darinya tak hanya dalam hitungan puluh, melainkan ratusan. Seribu potong kue pun pernah saya dapatkan. Ingin sekali saya berteriak tadi. Tapi kemudian saya pikir kembali, untuk apa saya ungkapkan semua itu? Untuk pamer bahwa kue saya baik-baik saja? Lantas, apa manfaatnya? Apa iya bisa berguna untuk membuat si pemilik kedai berhenti menceramahi saya?

Rasa tak terima masih juga menyesaki dada saya. Inilah sebabnya air mata saya tak berhenti juga. Lalu kembali saya berpikir ulang. Sebagai seorang yang sedang belajar 'berusaha', saya harus kuat. Pun menghadapi kritikan pedas seperti tadi. Anggap saja ini kritik membangun, untuk membuat mental bisnis saya semakin kuat. Agar kue-kue buatan saya semakin enak. Hati saya sedikit sejuk. Namun sisi lain hati saya terus menyatakan tak terima dengan perlakuan si pemilih kedai tadi. Lantas, doa pun mengalir begitu saja.

'Wahai Rabb kami, Tuhan Yang Maha Mengetahui. Engkau pasti sudah melihat apa yang terjadi di pagi buta, pada hamba-Mu yang sedang belajar berusaha ini. Sakit, duh Gusti. Hamba tak pernah menerima perlakuan seperti ini sebelumnya. Selama ini, Engkau telah berikan kemudahan kepada hamba untuk belajar, hingga pekerjaan seberat dan sesulit apa pun di kantor, hamba bisa lakukan. Dan sekeliling hamba pun menyenangi hasilnya. Tapi kini, rasanya sulit untuk hamba menerima bahwa ada yang tidak suka dengan kue buatan hamba. Untuk itu Ya Rabb, bantulah hamba untuk belajar lagi. Biar hamba bisa terus lebih baik, dan sekeliling hamba menyukai hasil pekerjaan hamba, aamiiin."

Hati saya bertambah lega. Dan kini, semua kritikan maupun celaan, akan saya jadikan sebagai masukan untuk menjadi lebih baik. Meski begitu sulit untuk mendengar dan mencernanya dalam hati dan pikir saya.

Ambil Baiknya Saja


Ya benar. Karena setiap orang pada dasarnya punya sisi baik. Allah sudah berikan hati nurani dalam diri tiap-tiap manusia. Oleh karenanya, tidak ada orang yang mutlak jahat. Pasti, ada kebaikan yang mereka lakukan.

Saya jadi teringat dengan percakapan bersama seorang sahabat hampir sepuluh tahun berselang. Waktu itu, seminggu sebelum keberangkatan saya menuju tempat hijrah, Bandung! Yup! Kota kembang adalah kota pertama saya ditakdirkan untuk melanglang buana, menjelajah negeri tercinta. Dan saya yang notabene adalah seorang yang samasekali belum pernah pergi jauh, tentu merasa ragu sekaligus exciting dengan pengalaman baru yang akan saya alami. Salah satu yang saya takuti adalah pergaulan baru di dunia kerja. Saya takut tidak bisa membawa diri. Saya khawatir tidak bisa mengikuti persaingan yang akan terjadi nanti. Saya cemas, jika saya akan tersingkir dan kemudian terkucil di dunia baru saya. Maka, selain meminta nasehat kepada Bapak, orang yang sangat saya kagumi, saya juga meminta saran kepada sang sahabat.
Ia saya anggap mempunyai pergaulan yang jauh lebih luas dibanding saya. Pengalaman berorganisasinya tak diragukan lagi. Dan beratus kawannya yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, membuat saya semakin yakin akan kepiawaiannya mengelola hati.

Maka, dengarlah sarannya waktu itu.
"Membawa diri itu, memang gampang-gampang susah. Tak boleh terlalu menonjolkan diri, tapi juga tak baik menarik diri. Jangan selalu ingin menguasai pembicaraan, karena setiap manusia itu, pada dasarnya ingin selalu didengar. Jika bertemu dengan si trouble maker, yang pasti selalu ada dalam sebuah komunitas, jangan pula menjauhinya. Belum tentu ia juga akan membuatmu merugi. Ingatlah. Pada dasarnya, setiap manusia itu punya sisi baik. Seburuk apapun ia, suatu waktu akan ada bisikan baik dari hatinya. Itulah mengapa, bersikap baiklah kepada siapa pun! Meski semua orang dalam komunitas barumu mengatakan ia buruk, jangan serta merta menjauhinya. Bergaulah sewajarnya saja. Jangan terlampau akrab, jangan pula terlalu acuh. Semua yang tidak berlebihan itu akan baik akhirnya."

Benar juga ia bilang. Ketika suatu hari saya dihadapkan pada seorang yang menurut sekeliling teramat acuh, sinis, jutek. Saya belajar untuk terus berbaik sangka. Saya tetap mengajaknya tersenyum meski tak berbalas. Saya terus menyapanya meski kadang ia pura-pura tak mendengar sapa saya. Saya juga terus menanyakan kabarnya, kondisinya, sekedar berbasa-basi, walaupun seringkali pula ia acuh tak acuh pada saya. Hingga akhirnya, entah angin apa yang membuat ia demikian manis kepada saya. Ketika orang-orang tetap diacuhkannya, maka kemudian, sayalah orang yang berhasil menjadi teman dekatnya. Yang selalu diajaknya berbelanja kemudian dan juga sering ditawari makan siangnya. Sampai detik ini pun, ketika saya sudah demikian jauh darinya, ia tetap sering menanyakan kabar saya. Atau kabar anak-anak dan suami saya. Subhannallah...!

Dan kini, semakin saya pahami. Dimanapun saya berada. Saya tetap harus yakin, bahwa, setiap manusia punya sisi baik. Manakala ada sesuatu yang membuat hati kita tak nyaman dengan perlakuan salah satu dari mereka, berhusnudzan adalah yang terbaik. Dan mengambil baiknya saja, adalah kunci untuk tetap bisa menjalin silaturahmi. Agar tak ada lagi silaturahmi yang terputus. Sulit memang. Tapi inilah hidup! Saya harus berjuang untuk terus melakukannya...

Saturday, October 4, 2008

ultraman nexus

ultraman nexus kuat banget dan tere. dia punya besi tangan yang sangat kuat.


iq suka sama ultraman nexus.




dari thariq.

Takuk Kadei...

Setelah dua tahun lebih saya bersamanya, merawatnya, mendidiknya, mengasihinya setulus hati, memenuhi kebutuhannya, baru beberapa hari lalu saya merasa bahwa ia demikian mendambakan kehadiran saya. Bahwa ia sangat membutuhkan saya lebih dari segalanya.

Seminggu lebih yang lalu.
Kami sedang bermain bersama di kamar, menjelang tidur malamnya. Tiba-tiba mata saya tertuju kepada kabel AC yang telanjang dan keluar begitu saja dari balik dinding kamar. Kabel yang lama tak terperhatikan dan berdebu tebal itu pun saya bersihkan dengan lap pel. Sembari membersihkan, saya berkomentar, "Hehehe... berdebu, kayak berbulu ya Bang...!" Si abang menanggapinya dengan terbahak. Ia cukup geli dengan kalimat saya. Namun rupanya berbeda dengan sang adik. Ia langsung menjerit ketakutan. Ketika saya gendong, tak seperti baisa, ia pun bersembunyi di balik pelukan saya. Kakinya dimasukkan ke dalam pelukan saya. Ia benar-benar ketakutan. Dan malam itu, ia tak mau tidur di kamarnya. Ia memilih tidur di kamar kerja si ayah meski keringat mengucur dari keningnya akibat kepanasan tak ada fan.

Dan saya betul-betul menyesal. Jika saja waktu dapat saya putar ulang, saya pasti tak mengucapkan kata-kata itu. Astghfirullahal adziim... Sebagai seorang muslim, saya tak boleh berandai-andai, karena itu pekerjaan syetan. Yang harus saya lakukan adalah menetralisir ketakutannya.

Maka, esoknya, adik yang masih ketakutan terus saja di gendongan saya. Dan tentu, aktivitas rumah tangga pun saya abaikan. Beruntung, si ayah membantu, meski ia sedang sibuk berat hingga berhari-hari tidak tidur malam.

Setiap hari saya berikan kekuatan kepadanya. Lewat kata-kata lembut di telinganya saya bisikkan bahwa ia adalah anak yang kuat, pemberani. Kabel itu benda mati. Ia baik. Tidak akan melukai adik. Abangnya juga menyemangatinya dan bilang, "Adik jangan takut kabel. Takut itu hanya sama Allah, ok?"

Sebentar ia terlihat mulai berani, tapi kemudian histeris lagi dan memeluk saya rapat sambil berteriak, "takuk kadeiiiii...!"
Pada malam kedua, ketika ia masih juga sering histeris, saya menangis. Terus saya bisikkan kalimat yang sama. Memotivasinya agar ia bisa membuang rasa takutnya. Doa pun saya alirkan untuknya. Memohon kepada penguasa dirinya, Allah Yang Maha Berkuasa, agar membuang rasa takut yang berlebihan di hatinya.
Saran Mbah Halim, ayah saya, agar mengirimkan Al Fatihah untuk Nabi dan adik pun saya ikuti. Jika malam menjelang, saya bacakan ayat kursi dan ayat pelindung serta doa-doa yang tercantum di al Ma'tsurat untuknya, seperti yang sudah saya lakukan ketika abangnya kecil.

Dan Alhamdulillah, sekarang adik sudah lebih baik. Ia sudah mau bermain sendiri. Dan ia juga sudah mulai berani seperti dulu meski kadang ia masih juga bilang, "bye kadei.. adik ngga takuk kadei..!" Hehehe, sekedar memberanikan diri sendiri. Alhamdulillah...

Iq Jadi Matre...?

Geli campur sedih... (gimana ya rasanya?), liat Iq dapet uang raya. Habis, anak yang dulunya ga kenal uang, kok malah jadi ngitung uang tiap hari. (Btw, klop banget ya pelajaran Cik Gu Siti tentang uang beberapa minggu sebelum libur raya...).

Maka begitulah, setiap hari... Iq ngitung uang di dompet tweety-nya. Meski cuma nambah empat ringgit, ia tetap menghitungnya dari pertama. Dan sebelum tidur, ia selalu mengingat berapa total uangnya hari itu. Tak lupa ia mengingatnya, sehingga setiap kami bertanya berapa jumlah uang raya-nya, ia pasti akan menjawab dengan cepat.

Yang membuat kami sedih, Iq 'merayu'adiknya untuk memberikan uangnya kepadanya. Katanya sih, 'adik belum tahu uang, jadi ngga berguna ia pegang uang. Nanti malah dibuang, Ma..." Hehehe...
Belum lagi jika ia membandingkan hasilnya dengan uang raya Mas Faris, anaknya Bu Niam. Wah.. kami cuma bisa geleng-geleng kepala aja.

Sampai malam kemarin, saya panggil ia dan saya berikan pengertian tentang uang. Tentunya dengan bahasa sederhana.

"Iq. Uang itu, salah satu kekayaan manusia. Dan memang, Allah sudah berfirman di Al Qur'an, bahwa manusia di dunia memang mencintai kekayaannya. Tapi, Nak. Jangan sampai kita diatur oleh uang. Kita yang harus mengatur uang. Jangan sampai waktu Iq habis buat ngitung uang, sampai Iq pun lupa gosok gigi sebelum tidur. Sampai Iq harus mengingat2 terus jumlah uang Iq berapa. Dan satu lagi, uang Iq itu bukan sepenuhnya uang Iq. Ada uang adik juga kan? Jadi, Iq tetap harus membaginya jika Iq nanti belanjakan uang itu. Ya?"

Ia pun mengangguk. Meski mungkin sebagian kalimat saya masih belum bisa dicernanya, minimal, ia mengetahui bahwa uang tak boleh lagi mengatur hidupnya. Dan ia, tetap harus membaginya bersama saudaranya.

Iq tersenyum. Dan pelukan hangat pun ia hadiahkan buat saya.

Saturday, September 20, 2008

Dua Jundi Kami

Tentara kami. Amanah terbesar yang Allah titipkan bagi kami. Kami bersyukur, Allah berikan kemudahan buat mereka tumbuh berkembang dengan sempurna. Semoga Allah senantiasa menjaga fitrah mereka. Dan semoga, kami senantiasa diberikan kekuatan dan ilmu-Nya, untuk memberikan yang terbaik yang kami bisa, yang kami punya, buat mereka.

Ahmad Thariq. Dia adalah anak pertama kami. Lahir tanggal satu, bulan dua, tahun dua ribu dua, jam tiga lewat tiga puluh tiga di rumah sakit Lavalette, Malang. Angka yang menakjubkan telah Allah takdirkan buat dia menapaki hidup barunya setelah 40 minggu berada di rahim mamanya.
Nama itu kami berdua yang pilihkan. Artinya, jalan yang terpuji. Kami berharap, dalam hidupnya... di jaman yang semakin tak menentu ini, ia selalu mendapatkan jalan yang terpuji. Jalan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW, aamiiin.

Zaki Hannan Maulana Karim. Nama yang lebih panjang. Itu adalah nama istimewa yang dipilihkan oleh kakeknya, Mbah Halim. Ayahnya sudah angkat tangan, ngga punya ide. Sedang mamanya, pengen nama anak kedua ada Hannan-nya. Abangnya, pengen nama adiknya ada Zaki-nya. Maka, setelah sholat dhuha, Mbah Halim mengusulkan, agar nama anak kedua kami, Zaki Hannan Maulana Karim. Subhannallah... Semoga, harapan kami semua agar ia menjadi seorang yang bersih, berhati penuh kasih sayang dan mendapatkan kedudukan mulia di sisi Rabbnya dan Makhluk-Nya dapat terwujud, aamiiin...
Zaki lahir tanggal 10 September 2006. Satu hari sebelum ayahnya ulang tahun. Zaki lahir di Rumah Sakit Al Islam, Bandung, jam 10.29.

Alhamdulillah...
Telah Engkau anugerahkan kepada kami anak-anak yang membuat rumah kami menjadi ceria. Jadikanlah mereka anak-anak yang sholeh... yang senantiasa takut kepada-Mu Rabb... aamiiin.

Tentang Nama Kekasihku

Pssttt! Jangan suudzan dulu. Karena ia cuma satu, yang Allah ridhoi. Namanya Satria Mandala. Pertama kali saya mendengar namanya disebut, saya terkikik di hati. Nama yang unik. Kayak nama pesawat (mandala), atau nama museum di Jakarta (ternyata duluan dia lahirnya daripada si musium...), atau apalah. Yang jelas, saya heran, kok namanya aneh.

Mungkin keanehan ini karena saya tidak begitu familiar dengan nama selain nama islami. Bayangkan saja, di keluarga saya, nama saya dan adik-adik semuanya bernafaskan islam. Ary Nur Azizah. Farikhah. Nur Kholis. Jadi, boleh dong saya merasa heran mendengar namanya...

Nama yang membuat saya tertawa itu, ternyata punya banyak kisah. Di Bandung, tempat kami ngontrak, suami saya lebih dikenal dengan nama Pak Eko! Loh kok? Ya, kami sendiri ngga ngerti darimana nama itu muncul. Yang jelas, setiap arisan, saya selalu tercatat sebagai Bu Eko. Berkali nama itu coba saya klarifikasi, tapi hasilnya, tetap saja. Hingga Mbak Ola, Manajer saya waktu itu yang kebetulan se blok dengan saya di perumahan, selalu menggoda saya dengan memanggil: ayo, bu Eko... hehehe...

Dan di sini, di Johor. Tempat saya nebeng hidup bersama suami yang sedang sekolah lagi, ia pun dipanggil dengan sebutan baru. Satrio! Bukan Satria seperti seharusnya. Terus suka saya godain, kalau namanya, Satria jadi Satrio. Maka, Mandala jadi Mendolo? hehehehe....

Ah... apapun nama yang tetangga, rekan, kawan dekat, saudara, atau siapa pun berikan dan sebut untuk suami saya, jujur, kami tidak pernah mempersoalkannya. Jika dengan nama itu semua merasa nyaman memanggilnya, kami tentu merasa lebih nyaman. Maka, di sini pun, saya lebih nyaman dipanggil, Bu Satrio...

Friday, September 19, 2008

Terlambat

Ya... ini judul yang pas. Terlambat itu sudah pasti. Giliran orang sudah rame ngeblog, saya yang sempat ditawarin temen (mbak Olaaaa.... where have you been?) untuk ngeblog sejak tahun 2005-an, malah kesambet penyakit males. Males kenal sama teknologi baru. Males nulis. Males memulai sesuatu yang baru. Males... males... males...! Jadi beginilah!

Saya memulainya hari ini. Setelah hampir 3 tahun berlalu. Setelah semua orang ramai membicarakan asyiknya ngeblog. Dan setelah email seorang saudara di Bandung (Mas Pluk, salam buat Tizzi), yang memasang photo lama saya di blognya.
Akhirnya hati saya tergerak juga, untuk lebih rajin menulis. Mudah-mudahan hati ini selalu berada pada semangat yang sama. Semangat untuk menuangkan cerita, pengalaman, hikmah, atau pun pengetahuan, hingga bisa bermanfaat pada waktunya.

Dan tentang nama anthariksa. Sebenarnya juga tidak berhubungan sama sekali dengan antariksa. Dengan ruang angkasa raya. Tapi nama itu adalah wujud cinta seorang ibu kepada anak-anaknya. Bukti cinta seorang istri kepada suaminya. Karena, seperti kawan saya yang sekarang ada di Papua(Anggra, how are you?) katakan, nama itu adalah isyarat seorang perempuan yang sedang jatuh cinta.
Jatuh cinta kepada keluarga kecilnya. Karena sesungguhnya, anthariksa adalah kepanjangan dari Ary Nur, THAriq, KaRIm, Kel. SAtria. Hehehe... Narsis ya?

Demikianlah.
Semoga, yang terlambat ini, akan bermakna kemudian.
Dan tidak selamanya menjadi sesuatu yang terlambat... aamiiin.

Salam hangat,
Ary Nur Azizah