Tuesday, June 28, 2011

Tak Perlu Kuntum Mawar Itu

Kolej Perdana, menjelang pagi.

Aku terbangun dengan darah di gusi akibat bengkak dari desakan gigi baru, yang tak kunjung mereda. Kucari si ayah di kursi kerjanya. Kosong. Kulihat lampu ruang tengah dan dapur juga mati. Kulongokkan kepala ke kursi di ruang tamu. MasyaAllah, suamiku sedang tertidur di kursi. Seperti biasa, dengan buku tebal terbuka di tangan.

Kusentuh ujung kakinya.
"Yah, bangun. Ada darah lagi!" seruku sedikit panik.

Jika sakit aku memang suka parno, takut berlebihan. Dan ini menurun persis pada sulungku. Kaget, ia terburu-buru menuju kamar. Dilihatnya bantalku. Sejurus kemudian, "Mama kumur air es, ya!" ucapnya. Aku mengangguk pasrah.

Dalam hitungan detik ia sudah mondar mandir menuju lemari es sembari membawa segelas air putih. Mengecek thesis di kamar. Mengecek air putih lagi. Begitu terus. Sampai akhirnya ia datang kepadaku membawa setengah gelas air dingin. Aku berkumur. Masih berdarah. Wajahnya nampak khawatir. Kembali ia ke depan lap top, mengecek thesis.

Kulihat botol obat cina untuk sakit tenggorokan dan gusi bengkak. Aku menghampirinya.

"Yah, ini boleh dipakai, ga?" tanyaku, tak seberapa jelas karena gusi yang membengkak.

"Kalau Mama merasa pahit, dipake kumur aja, ya!" jawabnya. Aku kembali mengangguk.

Suamiku itu pun segera menyiapkan air kumur ditambah sedikit obat. Aku kembali berkumur.

"Dah, sekarang Mama tidur. Di sini aja, nanti Ayah tungguin," katanya.

"Di sini panas, Mama mau tidur di kamar depan." Sahutku sembari beranjak pergi, menuju kamar depan.

Pagi itu aku pulas, gusiku tak lagi mengeluarkan darah. Alhamdulillah.

***
Menjelang Subuh. Aku terbangun, berkumur. Kembali ada sedikit darah, jauh berkurang dari sebelumnya. Si ayah memandangku cemas.

"Masih berdarah, Ma?" tanyanya. Ia masih duduk di depan lap top, mengetik. Aku mengangguk lemah.

"Nanti kita ke dokter, ya!" lanjutnya. Lagi-lagi aku mengangguk.

Pagi itu, aku menyiapkan sekolah Thariq seadanya. Meski gusi dan gigiku tidak sakit, tapi semangatku sedang terpuruk. Malas melakukan apapun. Lima menit menuju pukul tujuh, Thariq berangkat. Mas beranjak dari kursinya, menuju dapur.

Aku duduk di dekat dapur, memperhatikan setiap gerakannya.
Tangannya cekatan menggoreng tempe, menyiapkan bumbu dan membuat sambal tempe. Kompor satunya digunakan untuk merebus air, membuat bubur.

"Mama makan bubur aja, ya. Ayah buatkan," katanya, "Mana santan, Ma?"
Kuserahkan santan dalam kotak kepadanya. Lalu ditambahkannya dua biji telor, sejumput garam dan dibiarkan bubur sejenak di atas api sementara ia makan.

Lelakiku.
Duduk di lantai, dengan cobek didepannya penuh berisi sambal tempe. Sepiring nasi di tangan kirinya. Tak lama, ia pun larut dalam suapan demi suapan. Terasa nikmat.
Ada haru menyeruak di hatiku. Kini aku tak lagi memerlukan mawar merah yang selalu kuminta tiap kali kita membahas soal romantisme. Sikapmu adalah hal termanis. Paling romantis. Melebihi sekuntum mawar atau sekotak coklat mahal!

Di tengah kepusingannya mengerjakan thesis dan tambahan tugas dari sang profesor, ia masih begitu perhatian hingga sempat membuatkanku setengah panci bubur.
Ia juga tak pernah protes terhadap apa pun yang kumasak. Seringkali jika makanan sudah habis olehku dan anak-anak, karena ia selalu terlambat pulang, tanpa banyak cakap ia menggoreng telor atau tempe sendiri.

Ia begitu mengertiku.

Maafkan aku, sayang.
Sungguh, aku beruntung menjadi istrimu. Maafkan aku yang belum bsia sempurna menjadi perempuanmu, Mas.

Tapi yakinlah, bahwa aku selalu berusaha untuk itu.

Semoga Allah mengekalkan cinta kita hingga JannahNya, aamiin...

1 comment:

Anonymous said...

ehem...ehem....
ini dia 'silent romance' kali, ya, bu... ^_^
Tindakan aktif selalu bisa mencuri hati.. ^_^

:)